12 March 2014

Resensi MONTASE - Sakura dari Balik Lensa



Judul Buku                        : Montase
Penulis                              : Windry Ramadhina
Tebal                                 : viii + 360 halaman
Penerbit/cetakan               : GagasMedia/Cetakan ke-2, 2013
ISBN                                 : 979-780-605-7
Harga                                 : Nggak tahu, dipinjami teman

Minggu malam, ketika main ke kos teman Kerja Praktik sebelum pergi ke Taman Seribu Lampu di kota Cepu bersama-sama (yang ternyata lampunya cuma satu—sigh), tiba-tiba si N menawarkan meminjamiku novel. Dia menyodorkan padaku novel ini—pamornya sudah lama menyapa telinga saya, ingin kubaca tapi belum kesampaian—dan kusambut dengan riang. Setelah membaca The Hunger Games, pikiran dan jiwa saya seolah terjebak di dalam dunia Katniss yang seru, namun kini membutuhkan semacam penyegaran dengan dunia fiksi lain yang lebih ringan.

Ketika mata saya tertumbuk pada kover depannya, yang pertama kali saya tangkap (selain judul dan nama penulisnya) adalah sebuah tagline “kau di antara seribu sakura”. Sebuah kalimat ini mau tak mau membawa pikiran saya melayang ke Jepang. Lalu ada gambar pohon sakura di sebuah taman yang dibingkai pita film. Oke, saya berekspektasi cukup tinggi pada kisah di dalamnya.

Rayyi, seorang mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, sesungguhnya telah meletakkan mimpi dan jiwanya pada film dokumenter. Mimpinya itu berawal dari film dokumenter The Man with A Movie Camera karya Dziga Vertov, yang dikenalkan mendiang Mamanya. Namun, ambisi sang ayah, Irianto Karnaya, produser film dan sinetron laris di Indonesia, memaksanya mengambil Perminatan Produksi. Bagi Rayyi, film dan sinetron mainstream itu adalah sampah. Dan ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak membawa si Babe, kamera Bolex-nya, ke mana-mana untuk merekam film dokumenter. Satu mimpinya untuk lolos seleksi festival film dokumenter nasional yang diselenggarakan Greenpeace pupus ketika filmnya dikalahkan oleh film tentang bunga sakura bikinan seorang mahasiswi exchange dari Jepang, Haru Enomoto. Jelas saja, Rayyi merasa jengkel dan tidak terima karena kalah oleh seorang gadis liliput yang ceroboh dan aneh itu. Mereka bertemu pertama kali ketika Rayyi menonton pameran filmnya.

Bersama ketiga kroconya, Sube, Andre, dan Bev, Rayyi mengikuti kelas Dokumenter IV tanpa kredit SKS. Semuanya karena Samuel Hardi yang menjadi dosennya. Sineas film dokumenter yang telah memenangi berbagai penghargaan internasional itu, tanpa basa basi, memberi tugas pertama untuk membuat sebuah film dokumenter. Rayyi yang kebingungan lantaran belum mendapat ide, akhirnya dengan terpaksa menerima saran Andre untuk merekam Haru. Setelah satu kali merekam gadis itu, Rayyi bagai kecanduan. Tiap kali ada Haru, ia akan otomatis mengeluarkan si Babe untuk merekamnya. Meskipun terlambat memasuki kelas, usaha Rayyi terbayar ketika Samuel Hardi secara implisit memuji filmnya, kemudian menayangkannya di layar lobi gedung fakultas sebagai “best documentary film of the week”. Tak berhenti di situ, Samuel menawari Rayyi dan Haru untuk mengikuti IDFA (International Documentary Film Festival Amsterdam). Mereka berdua menerima tawaran itu, tapi sebuah bencana membuat Rayyi undur diri. Rayyi mendapat nilai D pada ujian mata kuliah Produksi IV, yang salah satu dosen pengujinya adalah teman ayahnya. Irianto Karnaya yang marah besar kemudian mengawasi anaknya dengan ketat; menyuruhnya magang di rumah produksi Karya Karnaya, sehingga Rayyi menghilang dari teman-temannya, kuliah Dokumenter IV, dan juga dari dunia film dokumenter. Semua ini tidak mudah bagi Rayyi. Dengan berat hati, ia meninggalkan dunia yang dicintainya demi ambisi ayahnya. Sungguh tidak mudah, apalagi dengan Haru yang jatuh sakit, kemudian pergi meninggalkannya tiba-tiba, kembali ke Jepang. Namun, kenangan terakhir bersama Haru di Museum Prasasti, kata-kata gadis itu, menguatkan Rayyi untuk menggenggam mimpinya kembali.
“Menjadi pembuat film dokumenter? Ya. Itu impianku sejak masih sekolah. Bahkan, aku tidak ingat apa aku pernah memimpikan hal lain.” – Rayyi

“Kalau begitu, kau tidak boleh menyerah. Jangan berhenti mengejar impianmu atau kau akan menyesal, Rayyi..... Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu, jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan.” – Haru (halaman 249-250)
Rayyi, yang akhirnya mampu melawan ambisi ayahnya, pergi untuk berguru kepada Samuel Hardi, yang kelak akan membantu impiannya terwujud. Memenangi penghargaan untuk kategori Film Pendek Dokumenter Terbaik dalam IDFA adalah satu batu loncatan pertama. Namun, sebuah panggilan telepon dari Tokyo menghancurkan tatanan hidupnya yang belum tersusun rapi benar setelah kepergian Haru, disusul dengan surat-surat yang ditulis Haru untuknya. Surat-surat yang membawanya ke Tokyo, menjemput jawaban dari berbagai pertanyaan, termasuk apa arti bunga sakura bagi Haru.
“Keindahan sakura hanya sebentar, tapi karena itu dia begitu berharga... Rayyi, apa kau melihat sesuatu yang kulihat dari balik lensa kameraku? Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi.” – Haru (halaman 347)
Dari awal hingga pertengahan buku, saya tak bisa lepas membaca kisah yang ditulis oleh Kak Windry ini. Bagi saya, dunia film yang Kak Windry bawa dalam novel romansa ini sungguh menarik dan tidak membosankan. Apalagi dengan berbagai penuturan, baik lewat setting, dialog antartokoh, maupun narasi penulis, dunia seni perfilman sangat kental terasa. Penulis berhasil menyajikan dunia perfilman dengan meyakinkan, tidak setengah-setengah. Tema sentral yang diangkat penulis, tentang mencapai mimpi, juga merupakan tema yang selalu menarik untuk dibaca. Saya sangat setuju dengan kalimat yang dilontarkan Haru pada Rayyi di Museum Prasasti, yang saya kutip di atas. Bahwa dalam hidup yang singkat ini, sudah seharusnya kita melakukan sesuatu yang kita inginkan, yang kita impikan. Cara penulis bercerita pun tidak membosankan, meski mengambil sudut pandang tokoh “aku”. Ada cerita-cerita lucu dan unik yang diselipkan penulis, seperti kisah dibalik nama julukan Rayyi, kisah Goggle V, internet (makanan ini juga selalu bisa ditemukan di warung-warung Burjo di Yogyakarta). Kehidupan mahasiswa juga terasa membumi dan realistis dalam novel ini.

Penulis juga berhasil menghidupkan karakter-karakternya dengan sifat-sifat unik yang konsisten. Haru yang aneh dan ceroboh, tapi riang. Rayyi yang awalnya takluk pada ayahnya, tapi akhirnya mampu melawannya. Oh iya, si Rayyi ini suka mengumpat “asem” pada diri sendiri, seperti yang sering saya lakukan! Hahaha. Kemudian Andre yang tanpa ekspresi, tapi kadang bisa memberi inspirasi. Bev yang hangat dan perhatian. Sube yang cerewet. Juga satu tokoh favorit saya: Samuel Hardi yang pongah dan sinis, tapi sebenarnya perhatian dan tulus. Namun, saya mulai khawatir ketika sampai di pertengahan buku dan terus membaca. Saya cemas penulis akan membawa cerita ini ke akhir yang klise, yaitu salah satu tokoh menderita penyakit berbahaya, dan.... kalian tahulah. Sungguh, saya muak dengan ending semacam itu. Dan parahnya, benar! Di samping itu, kebersamaan antara Haru dan Rayyi pun terasa terlalu singkat. Tiba-tiba saja, Haru sudah kembali ke Jepang. Di bagian menjelang akhir novel pun, roda waktu berjalan sangat cepat. Kisah dalam beberapa tahun dirangkum dalam beberapa halaman. Meskipun begitu, penulis berhasil mengemasnya dengan apik hingga tak terasa “maksa”. 

Ending yang klise dapat terselamatkan lantaran ending tersebut tidak terkesan cengeng, tapi malah memberi kekuatan bagi siapapun yang membacanya, untuk terus berjuang menggapai mimpi dan berusaha melewati rintangan yang menghalangi. Dan saya senang karena Rayyi berhasil mencapai mimpinya. Apalagi dengan absennya typo, novel ini mampu membuktikan kebenaran pamornya. Arigatou, Kak Windry, untuk kisah yang indah ini :)

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets