12 March 2014

Resensi THE HUNGER GAMES - Umbi Kecil dari Distrik 12



Judul Buku                        : The Hunger Games
Penulis                              : Suzanne Collins
Tebal                                 : 408 halaman
Penerbit/cetakan               : Gramedia/Cetakan ke-8, Mei 2012
ISBN                                 : 978-979-22-5075-6
Harga                                 : Nggak tahu, pinjam punya teman

Kali ini, saya ragu menamai tulisan ini sebagai “resensi” karena tidak terlalu mirip resensi. Saya sengaja tidak menyertakan sinopsis buku—yang biasanya ada pada tulisan resensi—tapi langsung mengulas hal-hal menarik dari buku. Saya rasa, pasti juga sudah banyak pihak lain yang telah meresensi buku ini dan kebanyakan orang sudah tahu plot ceritanya.

Bagi saya, menonton film yang diangkat dari novel selalu lebih menyenangkan jika belum pernah membaca novelnya. Hal ini akan menghindarkan saya dari perasaan kecewa yang mungkin mendera karena ada beberapa hal di film yang tidak sesuai atau tidak sekeren di dalam novel (film The Host adalah film yang tidak membuat saya kecewa setelah membaca novelnya). The Hunger Games inipun saya tonton jauh sebelum saya punya kesempatan untuk membaca novelnya. Meski begitu, ada beberapa kerugian jika menonton film tanpa membaca novelnya terlebih dulu, seperti yang terjadi ketika saya menonton The Hunger Games ini: ada beberapa hal yang tidak saya mengerti. Tentu saja, karena novel selalu menyajikan cerita lebih lengkap daripada filmnya. Berikut ini adalah beberapa pertanyaan saya (setelah menonton The Hunger Games dan Catching Fire) yang terjawab setelah membaca novel The Hunger Games.

1.   Apa arti gerakan mengangkat tiga jari? Kenapa gerakan itu, oleh Capitol, dianggap sebagai tindakan pemberontakan? Pertanyaan ini sangat mengusik pikiran saya ketika saya menonton Catching Fire, pada adegan di mana Katniss dan Peeta berkunjung ke Distrik 11 dalam Tur Kemenangan. Orang-orang yang mengangkat tiga jari langsung disergap dan dihukum oleh Peacemaker.
Ø  Pada suatu larut malam, ketika sedang menonton Catching Fire, saya tidak bisa menahan rasa penasaran saya karena gerakan tiga jari itu. Sampai-sampai saya bertanya pada teman saya yang empunya novel ini (dia sudah baca trilogi The Hunger Games), apa arti gerakan itu. dia menjelaskan lewat SMS, tapi saya masih belum mengerti. Akhirnya saya temukan jawaban untuk pertanyaan pertama pada halaman 32 – 33 dari novel ini. Sementara itu, pertanyaan kedua, kenapa gerakan itu dianggap pemberontakan, baru bisa saya jawab setelah membaca novel Catching Fire.
“...menyentuhkan tiga jemari tengah tangan kiri ke bibir mereka kemudian mengulurkan jemari mereka ke arahku. Gerakan ini adalah gerakan lama dan jarang digunakan di distrik kami, kadang-kadang dilakukan oleh beberapa orang di pemakaman. Gerakan ini artinya terima kasih, penghormatan, salam selamat tinggal pada seseorang yang kaukasihi.” (halaman 32 – 33)
2.     Sebenarnya burung mockingjay ada atau tidak di dunia nyata—atau itu murni bikinan Suzanne Collins? Mengapa pula burung ini dikaitkan dengan pemberontakan?
Ø    Burung itu murni rekaan si penulis, merupakan spesies baru yang lahir dari persilangan antara burung jabberjay dan mockingbird. Mockingjay bisa meniru siulan burung dan melodi manusia.
“Dan burung-burung ini bisa menciptakan ulang lagu. Bukan hanya beberapa nadanya, tapi seluruh lagu dengan berbagai versi berbeda, jika kau punya kesabaran untuk menyanyikannya pada burung-burung itu dan jika mereka menyukai suaramu.” (halaman 53)
Sedangkan mockingbird memang benar-benar ada, berasal dari suku Mimidae, dan terdiri dari 3 kelas, yaitu Melanotis, Mimus, dan Nesomimus. Beberapa spesies mockingbird dikenal memiliki kebiasaan  menirukan nyanyian burung lain, juga suara serangga dan amfibi. Salah satu spesiesnya adalah Northern mockingbird  (Mimus polyglottos), dapat ditemukan di Amerika Utara.

Ø  Jawaban dari pertanyaan kedua ternyata berkaitan erat dengan nenek moyang spesies mockingjay, jabberjay (burung ini muncul di Quarell Quell pada sekuel Catching Fire). Pada novel ini, melalui narasi Katniss, dijelaskan bahwa jabberjay adalah salah satu mutan ciptaan Capitol, yang diciptakan sebagai senjata pada masa pemberontakan. Burung ini dibekali kemampuan untuk mengingat dan mengulang seluruh percakapan manusia (halaman 53), untuk menguping seluruh pembicaraan musuh-musuh Capitol. Burung-burung ini akan kembali ke sarang dan mengulang semua yang mereka dengar untuk direkam. Ketika akhirnya para pemberontak itu menyadari mekanismenya, mereka malah membodohi Capitol dengan membicarakan kebohongan-kebohongan yang membuat Capitol tertipu. Itulah kenapa mockingjay, sebagai keturunan jabberjay, dianggap lambang pemberontakan. Btw, nama burung jabberjay ini berasal dari kata “jabber”, yang artinya “ocehan, obrolan”, dan “jay” yang artinya “semacam burung”.
3.        Mengapa insiden “buah beri” di bagian akhir Hunger Games dianggap tindakan pemberontakan? (Pertanyaan ini muncul ketika saya menonton Catching Fire, lantaran saya menonton Hunger Games beberapa bulan sebelumnya, sehingga sudah agak lupa bagaimana tepatnya insiden itu terjadi.)
Ø  Pada akhir Hunger Games, ketika peraturan tiba-tiba diubah (dari yang sebelumnya: pasangan peserta dari distrik yang sama dapat menjadi pemenang bersama-sama, menjadi “hanya satu yang jadi pemenangnya), Katniss memutuskan untuk mengelabui para juri. Dialah yang memiliki ide untuk berpura-pura memakan buah beri beracun bersama Peeta, agar para juri tertipu dan kelabakan. Ini bisa juga diartikan bahwa Katniss sedang mengancam para juri. Jika mereka berdua mati, maka para juri tidak memiliki pemenang, dan itu tidak bagus untuk reputasi Hunger Games dan Capitol. Maka mereka akan terpaksa mengubah peraturan lagi untuk memenangkan Katniss dan Peeta. Itu lebih baik daripada tidak ada pemenang, kan.
4.      Mengapa nama-nama tokoh di kisah ini terdengar aneh, ya? Contohnya saja “Katniss” (kalau di Starving Games, namanya jadi “Kantmiss Evershot” LOL).
Ø  Memang orang-orang di negeri Panem (terutama yang di Capitol, sih), ini aneh-aneh. Mulai dari penampilannya (make-up tebal kayak badut, pakaian yang terlihat ribet dan aneh). Tapi, ternyata nama “Katniss” ini berasal dari nama “umbi kecil berwarna kebiru-biruan yang tumbuh di hutan dengan tampilan tidak menarik tapi bila direbus atau dipanggang rasanya selezat kentang” (halaman 63). Katniss sering mengumpulkannya untuk dimakan, menuruti pesan mendiang ayahnya, “Selama kau bisa menemukan dirimu, kau takkan pernah kelaparan.” (halaman 63). Di samping itu, bisa dilihat juga di link berikut http://nameberry.com/babyname/Katniss

Selama membaca novel ini, saya sangat terhanyut dalam alur cerita narasi Katniss yang mampu menyeret saya untuk benar-benar membayangkan adegan demi adegan dalam cerita. Untungnya, saya sudah menonton filmnya lebih dulu, sehingga bisa membayangkan bagaimana sosok tiap-tiap tokoh. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika aktris lain yang memerankan tokoh Katniss. Akting Jennifer Lawrence sangat menyatu dengan tokoh Katniss dalam novel (link ini juga bagus untuk dibaca, dengan judul artikel yang catchy: Is Jennifer Lawrence Katniss-ing Us? http://www.vulture.com/2013/12/jennifer-lawrence-katniss-ing-us.html). Si penulis novelnya pun memuji akting Jennifer Lawrence, bahwa

“(J. Lawrence) had every essential quality necessary to play Katniss’. She never thought we'd find somebody this amazing for the role, and praised Jennifer for being powerful, vulnerable, beautiful, unforgiving and brave’.”


Yang membuat saya mengagumi tokoh Katniss adalah kecerdasan dan kemampuannya untuk bertahan hidup, berpikir cepat, keberanian, sifat pemberontaknya (yang terakhir itu agak mirip saya, hehe). 

Kisah Hunger Games ini sangat menggambarkan dunia nyata saat ini, tentang perpolitikan. Bagaimana mewahnya kehidupan di Capitol (pusat pemerintahan negara) berbanding terbalik dengan kehidupan mengenaskan di beberapa distrik. Kemiskinan rakyat tergambarkan dengan sangat baik melalui kisah perjuangan Katniss untuk menghidupi keluarganya, membebaskan ibu dan adiknya dari kelaparan. Ketimpangan kesejahteraan rakyat juga terjadi, dengan adanya distrik yang kaya. Perbedaan cara berpikir mereka cukup jelas terlihat: anak-anak dari distrik kaya akan menganggap bahwa terpilih menjadi peserta Hunger Games adalah suatu kehormatan. Sedangkan, bagi Katniss, menjadi peserta permainan maut itu merupakan bencana. Bahkan, sekalipun kau memenangkan Hunger Games, bencana itu takkan pernah selesai. Katniss menyebut keadaan setelah menjadi pemenang sebagai, “jauh lebih buruk daripada diburu di arena” (halaman 390).

Pada akhirnya, saya merekomendasikan buku ini, khususnya bagi para pecinta novel fantasi yang berlatar dunia nyata. Meskipun sudah nonton filmnya, rasanya tetap beda jika kita membaca bukunya :).


0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets