11 June 2014

[Review IF I STAY] If I Stay, Can I Endure Life?



Judul Buku      : If I Stay
Penulis            : Gayle Forman
Tebal               : 261 halaman
Penerbit           : Speak (Penguin Group), 2010
ISBN               : 978-0-14-241543-6
Harga              : (saya pinjam dari teman saya yang mendapatkannya dalam paket Blended Litbox #5)

Pernah dengar tentang film “Burried” yang dibintangi Ryan Reynolds? Atau sudah pernah nonton? Saya sendiri belum pernah menontonnya (sigh).Tapi, saya tahu kalau film itu hanya beraktorkan satu orang. Dalam satu jam lebih, kisahnya berkutat dengan upaya si tokoh utama, yang terkubur dalam sebuah peti, untuk membebaskan diri. The awesome point is that how this film doesn’t suck or boring because of having only one actor in it. Bahkan, rating-nya di IMDB cukup bagus, yaitu 7.0/10.

Nah, jika “Burried” hanya punya satu tokoh, novel “If I Stay” ini hanya punya setting waktu satu hari. Tepatnya, kejadian dalam satu buku ini berlangsung dari pukul 7.09 pagi sampai 7.16 pagi berikutnya. Lalu, bagaimana buku ini bisa menjadi tidak membosankan?
***

Mia, seorang gadis tujuh belas tahun, yang juga adalah pemain cello berbakat, memiliki segala kesempurnaan dalam hidupnya. Keluarga yang hangat, seru, dan menyenangkan. Sampai mereka sekeluarga mengalami kecelakaan ketika sedang dalam perjalanan di suatu hari bersalju untuk mengunjungi Willow dan Henry, teman Dad. Mia menemukan dirinya terjebak antara dua dunia. Ia bisa melihat Dad dan Mom meninggal, dan adiknya, Teddy sedang berusaha diselamatkan. Dan dia—dirinya tergeletak tak berdaya di pelukan selang-selang di atas ranjang rumah sakit. Koma. Ia melihat apa yang terjadi, tapi tak bisa berbuat apapun. Ia ingin bangun, untuk mencari Teddy, tapi ia tak tahu bagaimana caranya bisa “bangun”. Dan ketika ia mendengar kabar bahwa adiknya tak terselamatkan, ia hampir tak punya alasan lagi untuk memutuskan tetap tinggal.
 “It’s okay.... If you want to go. Everyone wants you to stay. I want you to stay more than I’ve ever wanted anything in my life.... But that’s what I want and I could see why it might not be what you want. So I just wanted to tell you that I understand if you go. It’s okay if you have to leave us. It’s okay if you want to stop fighting.” – Gramps (page 181)
Dalam koma-nya, Mia mengenang kejadian-kejadian dalam hidupnya. Dalam dua puluh empat jam itu, ia harus menemukan, alasan apa yang dapat membuatnya untuk tetap tinggal.
***

Dad dulu adalah seorang drummer band rock. Ketika Mom mengumumkan kehamilannya akan adik Mia, Teddy, Dad memutuskan untuk keluar dari band-nya. Ia bertransformasi sepenuhnya, dari yang bergaya fashion ala punk, menjadi setelan jas rapi yang cocok dengan profesi barunya sebagai guru. Sementara itu, Mom juga pemuja musik rock, dan bisa jadi begitu liar jika sedang emosi. Lain lagi dengan Teddy. Bocah berumur 9 tahun lebih muda daripada Mia itu sudah kelihatan bakatnya sejak kecil, sebagai drummer.

Tidak jarang, Mia merasa berbeda dari keluarganya. Anggota keluarganya yang lain berambut pirang dan bermata cerah, sedangkan dia berambut dan bermata gelap. Mereka tergila-gila akan musik rock, sedangkan Mia jatuh cinta dengan musik klasik. Cello.
“But in my family, playing music was still more important than the type of music you played.” – Mia (page 23)
Kakek dan Nenek Mia—Gramps dan Gran—juga merupakan orang terdekat Mia. Ide Gran-lah awalnya, yang menyarankan Mia untuk mendaftar ke Juilliard. Ketika tiba hari audisi di San Fransisco, Gran tidak bisa mengantar Mia karena beliau keseleo seminggu sebelumnya. Jadilah Gramps yang mengantarnya, dan mereka melakukan banyak hal menyenangkan setelah audisi selesai.

Mia juga memiliki seorang sahabat, Kim, yang adalah seorang Yahudi murni. Di sekolah, mereka bedua terlihat seperti kembar, lantaran sama-sama pendiam dan “gelap”. Kim adalah satu-satunya sahabat Mia, begitu juga sebaliknya. Dalam beberapa hal, Kim terlihat lebih dewasa daripada Mia. Contohnya, ketika Mia merasa bahwa musiknya “sunyi terpencil” hingga ia hampir meninggalkan musik klasiknya, kecintaannya akan cello. Ia selalu sendiri ketika bermain cello, meski berlatih bersama teman-temannya, ia juga akan sendirian ketika memainkan bagian solo. Lain dengan musik band ayahnya, yang selalu ramai dan penuh dengan fans yang antusias. Ia merasa kesepian.
“... I mean, who plays the cello anyhow? A bunch of old people. It’s a dumb instrument for a girl to play. It’s so dorky....” – Mia (page 128)
Dengan lagu “Something in the Way” dari sebuah CD Nirvana MTV Unplugged in New York[1], Kim menyadarkannya bahwa bermain cello itu tidak “sunyi terpencil”. Bahwa cello bahkan bisa berkolaborasi dengan gitar dan drum.
“Two guitar players, a drummer, and a cello player. Her name is Lori Goldston and I bet when she was younger, she practiced two hours a day.... And I don’t think anyone would dare call her a dork.” – Kim (page 128-129)
Dalam koma-nya, Mia sangat ingin bertemu dengan Adam, kekasihnya.[2] Ketika akhirnya Adam muncul, dan harus melewati tantangan karena suster tidak mengizinkan ia masuk ke ICU, tempat Mia dirawat. Sampai-sampai Adam dan Kim, dan teman-teman band Adam membuat keributan di rumah sakit, dengan mendatangkan artis Brooke Vega. Siapa yang tahu, bahwa mungkin Adam-lah yang dapat membawa Mia kembali?
“You still have a family.” – Kim (page 220)
***

Setting waktu hanya satu hari. Kebanyakan kejadian terjadi dalam bentuk flashback dari ingatan Mia yang sedang koma. Tidak ada tokoh antagonis (kecuali si suster galak yang menghalangi Adam masuk itu bisa digolongkan antagonis). Awalnya, saya pesimis sekaligus cemas bahwa cerita akan klise—terlebih tentang adegan kecelakaan yang menimpa sebuah keluarga bahagia. Saya déjà vu akan adegan ini, yang pernah saya temui juga dalam novel “Evermore” (seri Immortals #1 karya Alyson Nöel). Belum lagi, cerita tentang “koma” sudah sering diangkat, dari drama Korea berjudul “49 Days” hingga novel “Koma” karya Rachmania Arunita.

Tapi, nyatanya, kenapa saya bisa tidak bosan membacanya—bahkan melupakan segala ke-klise-an itu?

Pertama, saya terpesona dengan cara penuturan penulis, menggunakan sudut pandang tokoh pertama, sebagai Mia. Betapa karakternya begitu kuat, dan begitu nyata. Betapa, cerita tidak berubah menjadi mendadak gaib, atau apalah, yang tidak masuk akal. Bahkan, “jiwa” Mia diceritakan tidak memiliki kekuatan supranatural. Ia tak bisa menembus tembok, dan semacamnya.

Dengan cerdas, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama ini untuk menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu Mia, yang nantinya akan menjadi alasan-alasan mengapa Mia ingin pergi atau tetap tinggal.

Juga, penulis menggunakan teknik baru, yaitu menceritakan kejadian dengan present tense. Keterangan jam digunakan sebagai penanda ganti bab. Dengan begitu, pembaca merasa benar-benar mengalami kejadian demi kejadian dalam novel ini, sebagai kisah yang aktual.


Kedua, keluarga Mia begitu menyenangkan dan keren! Saya sangat menyukainya, dan mungkin juga iri. Iri terhadap Mia yang punya orangtua keren, terbuka, dan tidak kolot. Orangtua dan kakek-nenek yang dekat dengannya, seolah seperti teman sendiri. Mungkin ini juga pengaruh dari budaya pergaulan Barat yang jauh lebih “selow” dan tidak kaku terhadap unggah-ungguh.

Ketiga, saya juga suka musik! Penulis menjadikan musik sebagai nafas yang menghidupkan kisah ini.  Musik klasik-nya Mia berpadu dengan rock-nya Dad dan Adam. Bahkan, musik pula yang membantu Mia memutuskan untuk pergi atau tetap tinggal.

Keempat, penulis mengangkat tema penting kehidupan, tentang pengorbanan dan pilihan. Contohnya, ketika Dad memutuskan untuk meninggalkan band-nya demi anak-anaknya. Menurut Dad, ini bukan pengorbanan, melainkan pilihan. Pengorbanan berarti “giving anything up”[3], sedangkan saat mengambil pilihan itu, Dad wasn’t giving anything up.
“Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you. Does that make any sense?” – Dad (page 192)
Kelima, penulis tidak mencekoki pembaca dengan drama mengharu-biru yang lebay nan picisan. Saya suka keromantisan Adam. Betapa saya mulai memimpikan punya pacar seperti dia >,<.

Sebenarnya, novel ini berakhir di halaman 234, tapi bonus-bonus membuatnya menebal. Ada bonus “discussion questions”

yang memudahkan saya menuliskan review ini. Bonus “behind the music” yang membantu pembaca mengetahui hal-hal seputar musik yang diselipkan penulis di buku ini, juga alasan di balik pemilihan musik tersebut. Juga cuplikan novel sekuelnya yang berjudul “Where She Went”, yang ternyata menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai Adam. Dan, cuplikan inilah yang membuat saya resah: mengapa Mia dan Adam harus berakhir seperti itu? T_T

The last, I don’t know exactly why..., but somehow this book is effortlessly heartwarming! I really like this book, and I will be happier if I can read the sequel. Uh-oh.


[1] Page 128.
[2] Adam adalah gitaris dan vokalis band Shooting Star, yang cukup terkenal.
[3] Seperti yang dikatakan Dad pada halaman 192.


0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets