3 November 2014

[Resensi "KOPISS"] Kulkas, Gajah, Panda, dan Jerapah




Judul Buku                           : Kopiss
Penulis                                   : Miko Santoso
Tebal                                       : 280 halaman
Penerbit/cetakan              : Divapress/Cetakan pertama, Agustus 2014
ISBN                                       : 978-602-296-001-0

“Mimpi mereka berbelok, tapi bukan berarti gagal. Kegagalan itu sendiri nyatanya hanyalah sebuah permainan persepsi.” (halaman 276)

Passion saya adalah menulis. Menjadi penulis yang berkarya secara kontinu, yang mampu menulis apa saja. Tapi, rencana Tuhan meletakkan saya dalam fakultas terbesar di UGM, di jurusan Teknik Fisika. Lantas, apakah saya gagal menjadi penulis? Apakah seorang penulis harus mendalami ilmu bahasa atau sastra?

Tentu saja tidak. Saya percaya bahwa ilmu eksak yang saya pelajari di kampus (doakan, semoga cepat lulus!) bermanfaat untuk karier menulis saya. Bisa, dong, saya nulis novel sci-fi tentang anti-matter, misalnya? Kalau yang nggak familiar dengan ilmu eksak, pasti kesusahan nulis begituan. Saya saja kelimpungan. Hehehe.

Tokoh utama dalam novel ini, si “aku”, juga percaya bahwa banyak cara untuk sampai ke tujuan, mimpi utama kita.
***
Qiana, si “aku”. Cewek, awam dalam hal perawatan tubuh, fashion, dan berdandan. Saking kucelnya, saat pertama bertemu, Onne mengira dia pembantu. Waktu mau kondangan pun—menurut Qiana, penampilannya sudah cukup “cantik”—dia dikira hendak pergi ke warung. Posturnya tinggi besar (saya belum bisa bayangin dia sebesar apa) dan makannya banyak.  Lulusan SMA. Mengapa nggak lanjut kuliah? Nah, pasti banyak yang ingin menanyakan hal ini.

Orbitnya berantakan semua. Semenjak itu, ia mengalami “antivisi”, membuatnya seperti tak punya tujuan hidup. Itu juga yang membuatnya malas melanjutkan studi. Pengangguran, itulah statusnya. Rumah peninggalan Ayah-lah benda paling berharga yang ia miliki. Itu pun, kalau sertifikatnya sedang tidak dijadikan jaminan pinjaman bank.

Di saat Qiana benar-benar sekarat, datanglah seorang saudaranya, yang akan kuliah di STAN, menyewa salah satu kamar di rumahnya untuk mengekos. Namanya Gili. Meskipun jauh lebih ndeso, gadis itu lebih pintar dan optimistis, dibandingkan Qiana si anak kota. Ketika Tuhan membelokkan jalur perjalanan Gili sebagai calon ahli keuangan, gadis itu berusaha mencari pekerjaan agar tak jadi pengangguran. Ada satu kesempatan menarik untuk bekerja di sebuah kafe besar. Tapi, Gili tak punya pengalaman sama sekali dengan mesin pembuat kopi, padahal dia ingin jadi barista. Qiana, yang sudah lama tak menyentuh Miss Silvia, mesin pembuat kopi peninggalan ayahnya, mengajarinya secara kebut semalam. Dasar cepat belajar, Gili diterima di kafe itu, meskipun bukan di posisi barista.

Di tengah-tengah kisah, muncullah Onne, teman kuliah Gili dulu, yang juga ingin mengekos di rumah Qiana. Onne ini anak orang kaya asal Malang, tapi hidupnya kurang kasih sayang. Setelah lulus dan bekerja, hati nuraninya terguncang. Ia merasa bimbang akan jati dirinya. Ia ingin melepas pekerjaannya karena tawaran suap dan rekayasa anggaran selalu membayanginya. Di sisi lain, ia ragu, jika ia keluar, lantas kerja apa?

Tiga jalur searah itu bermuara pada satu jalan besar, di mana mereka bertiga akhirnya bergandengan tangan untuk menyeberang. Rumah Qiana disulap menjadi sebuah kafe, bertajuk Kopiss. Meski neraca keuangan mereka sering kembang kempis, Kopiss masih sanggup bertahan. Tapi..., sampai kapan? Belum lagi masalah yang menerpa masing-masing pengelolanya. Qiana, yang patah hati dan belum bisa move on dari Zydna. Gili, yang menjalin hubungan dengan bosnya, si duda-kemarin-sore. Onne, yang masih bingung dengan jati dirinya. Sanggupkah Miss Silvia bekerja rodi di bawah pemerintahan tiga orang tersebut?
***
Setelah membaca novel “Rindu” karya Tere Liye, saya merasa gamang. Pasalnya, kehidupan yang digambarkan dalam novel itu terasa sangat ideal. Masalahnya, kondisi ideal itu biasanya hanya digunakan sebagai asumsi para pemuja ilmu fisika dan teknik untuk menyederhanakan masalah, supaya bisa dicari solusinya. Para ilmuwan dan insinyur saja tahu, nggak ada di dunia ini yang “ideal”. 

Berkebalikan dengan “Rindu”, “Kopiss” menghadirkan kehidupan dengan rasa original. Malah, mendekati jenis “kehidupan” yang “amit-amit, deh”. Kegagalan demi kegagalan selalu mewarnai hidup Qiana. Di saat saya kira kali ini ia akan berhasil, eh, berikutnya ternyata ada tantangan lain muncul lagi. Namun, menurut persepsi Qiana dan Gili, itu bukanlah kegagalan, melainkan hanyalah belokan, atau tikungan. Tujuannya tetap, hanya saja, jalan yang ditempuh untuk menuju ke sana yang beda. Saya merasa.... lega, seperti punya teman seperjalanan yang sering terkena belokan. 

Persahabatan, kegagalan, pencapaian mimpi menjadi warna utama novel ini. Gaya persahabatan Qiana, Gili, dan Onne membuat saya tertarik, karena mirip dengan persahabatan saya di dunia nyata. Saling mengolok, jarang melemparkan kata-kata manis. Tapi, di balik itu, mereka saling mendukung, dan selalu menunjukkan rasa sayang dengan tindakan nyata. Ketiga tokoh tersebut juga menarik hati saya karena mereka mewakili pemuda Indonesia yang tidak mudah menyerah dan kreatif.

Penulis laki-laki menuliskan cerita dengan sudut pandang orang pertama perempuan. Gampang-gampang susah. Tapi, menurut saya, banyak susahnya. Meski susah, bukan tak mungkin. Nah, sudut pandang “aku”-nya Kak Miko ini cukup “cewek”, meski menurut saya, kalau penulis nggak menyebutkan bahwa tokoh “aku” cewek, pembaca bisa mendapatkan kesan ambigu. Jenis kelamin universal. Cara pikir Qiana itu khas cewek, tapi bisa cowok juga. Hmm, mungkin gara-gara di benak saya tertancap sosok Qiana yang tomboi, dengan tubuh besarnya, jadi terkesan agak “cowok”.

Namun, meski penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, tak sedikit pun rasa bosan menghinggapi saya. Mengapa? Semua karena teknik bercerita dengan bahasa yang ringan dan humoris. Saya mengapresiasi selera humor Kak Miko—lantaran saya sendiri nggak jago nulis humor, sehingga saya kagum terhadap penulis yang humoris, dan humornya nggak garing. Yah, bolehlah sedikit garing, asal masih bisa dikunyah. Kres, kres. Atau krip, krip (malah kayak merk snek).

“Satu lagi pertanyaan dari saya, kenapa putri saya?” – Ayah Qiana
“Ka...karena putri Bapak perempuan.” – Zydna (halaman 36)

Bahkan, analogi ataupun metafora yang digunakan penulis juga mengandung—eh, mengundang—tawa, lho.

“Lulus dari SMA bagaikan baru keluar dari ketiak hantu wewe.” (halaman 48)

Atau yang ini, jayus banget.

“Memangnya, berak bisa ditunda?” – Onne (halaman 161)

Ada lagi yang jayus: tebak-tebakan seputar kulkas berisi gajah, jerapah, dan panda. Tebak-tebakan nggak penting ini sering muncul di dalam novel “Kopiss”, lho, dan penulis dengan piawai menyulapnya menjadi sarana ilustrasi isi hati Qiana. Bahkan, tebak-tebakan ini yang mengisi bagian ending.

Karakter Qiana memberikan sentuhan humor tersendiri, akibat sifatnya yang sering kepedean (coba lihat halaman 29). Atau, dengan singkatan-singkatan aneh yang diucapkan tokoh. Cantik = cacat genetik.

Eeiiitss, tunggu dulu. Di balik kejayusan itu, penulis serius, lho, menuliskan berbagai pengetahuan seputar kopi. Wah, (saya awam dalam bidang ini) ternyata masalah kopi tidak sesederhana “tuang kopi sachet ke dalam cangkir, lalu tambahkan air panas 150 cc”. Tidak. Proses menghasilkan secangkir kopi yang lezat ternyata memakan waktu dan tenaga yang besar. Rantai ini membentang  dari penanam pohon kopi, hingga barista. Berbagai pengetahuan baru saya dapatkan. Istilah-istilah di dunia perkopian ternyata cukup memusingkan. City roast, endothermic (jadi teringat mata kuliah Termodinamika, hehe), first crack, second crack, maillard, roast stage. Spherification, froathed milk?, crema. Dengan begitu, profesionalisme tokoh barista dalam novel ini tergambar dengan baik. Bisa, nih, novel ini dikategorikan novel profesi.

Salah satu hal yang membuat saya terkejut adalah harga Marjoko yang mahal sekali—siapa itu Marjoko?—sampai tembus 9 digit! Maaf, saya memang awam di bidang ini. Hehehe.

Selain tentang kopi, penulis juga berkoar di ranah pemrograman komputer dan teknologi informasi, melalui kakak-beradik Zydna dan Syams. Warez, bandwith, mainframe, kopimist/kompimits? (halaman 207-208). Juga dilematiknya dunia kerja para lulusan STAN, diceritakan secara blak-blakan.

Ada beberapa istilah yang tidak diberi penjelasan, seperti tambulampot (oke, setelah merenung, akhirnya saya tahu bahwa itu singkatan dari “tanaman buah dalam pot”) dan mebelair. Hmm, setelah mencari-cari informasi, ternyata "mebelair" ini seharusnya ditulis "meubelair". Selain itu, terdapat beberapa kesalahan penulisan, yang untungnya tidak merusak kenyamanan membaca. Misalnya, “sekejab” (halaman 13) dan “out date” (halaman 24).

Bicara tentang mimpi, penulis juga serius, lho, menyampaikan pendapatnya tentang mimpi dan kegagalan, lewat tokoh-tokohnya. Bahkan, gara-gara ini, Qiana jadi bijaksana kadang-kadang.
“Manusia yang terbelenggu oleh ketakutan dan kekhawatiran tentang hidup justru sebenarnya telah mati, atau bahkan belum terlahir.”
“Hanya yang berani mendengar panggilan hatinya yang benar-benar dapat menunggangi waktu. Benar-benar jadi pengatur dunia, bukan sebaliknya.” – Qiana (halaman 193)
Saat menghadapi pengakuan Gili akan hubungannya dengan Shilo, bosnya, Qiana-lah yang pertama kali menanggapi dengan bijak (halaman 161).
“Sekarang lihat, deh, apa bedanya lo sama tukang parkir nekat itu? Kalian sama-sama ngehargain murah untuk hidup kalian.” – Qiana (halaman 188)
Selain itu, Qiana juga bisa menjadi sosok yang cerdas, seperti pada paragraf terakhir di halaman 247.

 Setting tempat yang dipakai penulis tak hanya di Jakarta, tetapi juga di Malang, ketika Onne pulang kampung ditemani Qiana. Penulis juga sedikit mengeksplorasi tempat-tempat di kota Malang dan sekitarnya.
Novel ini akan menjadi penghibur di kala kita ingin santai sejenak, sekaligus ingin mendapatkan motivasi yang disampaikan dengan cara yang ringan dan tidak bertele-tele. Apalagi, lebih nikmat kalau dinikmati sembari duduk di bay window. Hehe.

http://www.statewideenergysolutions.com/files/5470/590337.jpg
Contoh bay window, seperti di rumah Qiana, yang dimanfaatkan sebagai etalase kue.
http://www.statewideenergysolutions.com/files/5470/590337.jpg

2 comments:

  1. halo salam kenal, Mbak :D
    unik juga ya buku ini ternyata. nyoba cari2 ke toko buku aah
    btw, kalo di tempat saya, cacat justru kepanjangannya: calon cantik. hahaha :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, buku ini cukup unik, saya rekomendasikan lah...
      Wah ternyata banyak kepanjangan "cacat", mungkin saya yang kuper krn baru tahu haha

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets