11 March 2015

[Resensi YUNANI] Awas, Kepala TerbenturーRoh Melayang!




“Di sana, di pelataran Parthenon, sekali lagi Blue menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tiang-tiang pualam raksasa Parthenon berdiri dengan gagah dan utuh di puncak Bukit Acropolis. Blue kembali menggeleng. ‘Tidak, ini tidak mungkin!’” (hal. 76)
Setelah dibujuk-bujuk oleh Alex, sepupunya, akhirnya Blue setuju untuk ikut berlibur ke Yunani, bersama Rama dan Emma juga. Di Yunani, mereka menginap di tempat tinggal Theo, di daerah Kolonaki. Theo bersedia menemani mereka ke mana saja, yang berarti ia menjadi tour guide gratisan. Beberapa tempat telah mereka kunjungi sebelum reruntuhan Kuil Parthenon. Ketika mendaki anak-anak tangga pualam putih menuju pelataran Parthenon,  Blue terpeleset. Kepalanya terbentur anak tangga dan ia tak sadarkan diri.

Secara misterius, begitu membuka mata, Blue mendapati dunia yang sama sekali berbeda. Memang, ia masih berada di pelataran Kuil Parthenon, tapi bukan lagi berupa reruntuhan. Pun orang-orang yang ia jumpai terlihat asing. Anehnya, ia mengerti setiap bahasa yang mereka lontarkan, dan ia pun bisa merespons dengan bahasa yang sama. Untunglah, ada seorang wanita baik hati yang menolongnya, bernama Ione. Kebingungan melanda Blue. Di manakah teman-temannya? Ketika hendak mengambil ponselnya untuk menghubungi mereka, ia terkesiap. Celana jins dan kaosnya telah raib, tergantikan sehelai gaun yang disebut peplos. Perlahan, ia menyadari bahwa dirinya tersesat ke dimensi lain. Bagaimana bisa ia menemukan mereka? Bagaimana caranya kembali? Atau, akankah ia kembali ke dunianya?
***

Yunani: Di Gerbang Parthenon ini adalah salah satu keluaran proyek #AstralProjection yang dicetuskan oleh Divapress pada tahun 2013 lalu. Kenapa saya tahu? Karena waktu itu saya iseng mengirimkan outline naskah, tapi tidak lolos seleksi (hiks #facepalm #curcol). Sebagai pembaca, kesan pertama begitu membaca blurb adalah tema utama novel ini pastilah tentang dunia astral, bagaimana seseorang bisa (secara misterius) tersesat ke dunia masa lalu (dalam novel ini, Yunani kuno), dan bagaimana caranya kembali ke dunianya masa kini. Sebelum membedah buku ini lebih lanjut, saya ingin menjelaskan dulu secara singkat, apa itu dunia astral. Bagi yang sudah tahu atau yang lebih tahu daripada saya, maka abaikan saja bagian ini (tapi jangan langsung di-close, ya, halaman blog saya).

DUNIA ASTRAL merupakan dunia yang berada di antara dunia fisik dan dunia mental. Bukan hanya manusia yang sudah lepas dari tubuh fisiknya saja yang menghuni dunia astral, melainkan juga berbagai makhluk lain, seperti peri. Dunia fisik adalah dunia tempat kita tinggal. Menurut ilmu Theosophy, dunia astral terdiri dari tujuh dimensi yang tersusun berupa tingkatan-tingkatan.

Gambar ini adalah hasil interpretasi saya atas artikel ini.

Perlu diingat bahwa dunia astral bukan hanya bisa dialami oleh orang yang sudah meninggal, melainkan juga oleh seseorang yang masih hidup di dunia fisik (misalnya cenayang, atau bukan-cenayang yang mengalami masuk ke dunia astral melalui tidur atau pengaruh narkotika).


Nah, lanjut ke PROYEKSI ASTRAL. Kalau tidak salah, yang saya tangkap dari beberapa sumber, proyeksi astral ini berarti peristiwa keluarnya roh dari tubuh fisik. Proyeksi astral ada yang berupa proyeksi dari pikiran kita sendiri. Saat kita tidur atau tak sadarkan diri, misalnya, roh kita melayang keluar dan "terproyeksi" ke tempat lain, dan hanya orang yang punya kemampuan "melihat" saja yang bisa melihat. Roh kita bisa pergi ke tempat mana pun di seluruh bumi atau ke dunia astral. Bisa ke masa lalu atau bahkan ke masa depan. Kalau ke masa lalu, berarti roh kita bersentuhan dengan kenangan dari kehidupan kita sebelumnya, atau disebut reinkarnasi.

Hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini banyak dibahas dalam novel Immortal Series karya Alyson Noel. 

***
Pertama-tama, saya hendak mengapresiasi kemampuan penulis membangun dunia Yunani kuno melalui serangkaian deskripsi tempat dan suasana yang cukup bagus. Penulis juga mengeksplorasi beberapa budaya Yunani kuno (khususnya Polis Athena), seperti diskriminasi terhadap perempuan Athena (termasuk di dalamnya pernikahan usia dini), ritual pemujaan Dewi Athena, dan Festival Panatheaea. Penulis mengajak pembaca berwisata ke seantero kota Athena, bahkan bertemu dengan si filsuf terkenal, Socrates.
Bisa-bisanya, penulis juga menyampaikan kritik sosial melalui percakapan Blue dengan Arkhos, ketika sedang membicarakan tentara perang Athena.
Blue : Wow, itu hebat, sungguh. Berbeda sekali dengan para pemimpin militer di tempat asalku. Para jenderal, petinggi militer, atau pemimpin lain hanya memberi perintah dari tempat teraman dan terlindungi.... 
Arkhos : Itu tindakan memalukan. Seharusnya para pemimpin berdiri di baris terdepan untuk memimpin perang, menghancurkan lebih banyak musuh dari para prajuritnya, dan memastikan para prajuritnya bisa pulang ke rumah. Orang seperti itulah yang berhak disebut pemimpin. 
(hal. 219)
Kehangatan sebuah keluarga juga merupakan salah satu topik utama yang dibahas penulis. Melalui keluarga Klaimaskos[1], penulis berusaha menghidupkan contoh sebuah keluarga yang ideal. Para anggota keluarganya saling menyayangi, mendukung, dan membantu dalam kesulitan. Pun, para budaknya juga sangat menyayangi mereka.
"Masa depan apa pun yang kamu pilih, Demos, aku akan selalu mendukungmu... Lakukan apa yang kamu inginkan, Demos. Raih mimpimu." (Ione, hal. 227)
Sangat manis, bukan? Beruntung sekali Blue ditemukan oleh Ione, sang wanita yang amat baik budinya, dan tinggal di tengah-tengah keluarga itu.

Alih-alih menyukai tokoh Blue, saya malah menyukai tokoh Mesa yang ceria, blak-blakan, dan lucu. Meski begitu, saya tidak terlalu suka dengan dialog antara Mesa dan Ione yang sering kali hanya berisi basa-basi. Mesa memuji Ione, Ione merasa tidak enak dan malu, dan begitulah berulang-ulang.

Namun, saya kecewa karena kisah hidup Blue di masa Yunani kuno terfokus pada masalah percintaan; tentang Blue yang tiba-tiba hendak dijodohkan dengan Arkhos. Meski begitu, kisah romansa antara mereka berdua pun hanya sekilas-sekilas dan tidak intens. Maksud saya, mereka jauh lebih sering dikelilingi anggota keluarga yang lain dibandingkan hanya ngobrol berduaan, misalnya. Jadi, agak aneh kalau rasa cinta tumbuh secepat itu (kecuali cinta pada pandangan pertama--saya angkat tangan kalau bicara tentang hal itu). Seringnya, ketika berdialog, yang terjadi adalah Blue bertanya seputar Athena (budaya, tempat, dll.) dan Arkhos menjelaskan.

Saya juga berharap ketika di Yunani kuno, Blue mengalami petualangan seru. Namun saya mendapati hanya ada satu kejadian yang cukup "seru", ketika Blue berhasil menyelamatkan Demos dan Theone dari serangan orang asing. Bagian ini pun seolah ditulis hanya untuk menimbulkan kesan pada pembaca betapa hebatnya Blue.

Tentang gaya penulisan, saya mengamati bahwa penulis memiliki kecenderungan untuk memanjang-manjangkan cerita. Bab 1, misalnya. Bab setebal 16 halaman itu sebenarnya lebih baik jika dihapus, karena hanya berisi kegalauan Blue akan ikut pergi ke Yunani atau tidak. Sebenarnya kegalauan ini cukup ditulis secara ringkas. Selain itu, penulis juga beberapa kali mengulang narasi ke dalam dialog. Ini cukup bikin saya capek membaca.

Sekhayal-khayalnya sebuah fiksi, rangkaian ceritanya tetap harus logis. (Call me a logical girl, then, hahaha) Nah, novel ini pun mengandung elemen fantasi, tapi sayangnya ada beberapa bagian terpenting cerita yang kurang logis.

PERTAMA, kalau saya disuruh bikin cerita fiksi tentang roh seseorang (misalnya nama orang itu Blue) yang tersedot ke dimensi masa lalu, maka saya akan bikin roh Blue itu masuk ke tubuh orang lain yang memang ada di zaman itu. Bukan tubuh orang sembarangan, melainkan tubuh orang reinkarnasinya di zaman itu. Mengapa? Sederhana saja, karena tubuh Blue masih tertinggal di zaman sekarang. Aneh, kan, ketika Blue tidak sadarkan diri selama sembilan hari dan tubuhnya tergeletak di ranjang rumah sakit, ia malah jalan-jalan bersama raganya sendiri di Yunani kuno? 

KEDUA, penulis menciptakan tokoh Blue sebagai gadis yang cerdas dan kuat fisiknya. Lucunya, ketika  sudah menyadari keanehan di sekitarnya, ia malah bertanya pada seseorang, “Emm, di manakah kita berada?” (hal. 74). Ia sudah tahu bahwa ia masih berada di tempat yang sama seperti sebelum ia tak sadarkan diri, jadi seharusnya ia bertanya, “Tahun berapakah ini?” Nah, it does make more sense. Oke, mungkin Blue sedang sangat syok sehingga linglung berkepanjangan.

KETIGA, tidak dijelaskan bagaimana atau mengapa pakaian Blue tiba-tiba berganti menjadi peplos, dan ia tiba-tiba bisa dengan lincah mengendarai kuda.

KEEMPAT, mungkin ini yang paling penting. Mengapa roh Blue tersesat ke masa Yunani kuno? Mengapa tidak ke Eropa Barat zaman Renaissance, Mesopotamia kuno, atau pada masa Kerajaan Sriwijaya? Mengapa Yunani kuno? Pasti ada alasan. Mungkin agar Blue menemukan jawaban di Yunani kuno, atas masalah yang dialaminya pada masa sekarang? Sayangnya, penulis tidak menuliskan alasannya. Baiklah, mungkin roh Blue tersesat ke Yunani kuno agar ia bisa merasakan kehangatan keluarga Klaimaskos dan bertemu dengan lelaki yang akhirnya ia cintai, Arkhos. Namun, bagi saya, alasan itu kurang signifikan.

KELIMA, ini tentang Red, saudara kembar Blue yang telah meninggal[2]. Red-lah yang berusaha keras membawa Blue kembali ke masa sekarang. Ia mencari roh Blue ke mana-mana, meminta bantuan para roh lain, tapi belum ketemu juga. Anehnya, ketika memandang langit malam, tiba-tiba Red melihat bayangan Blue sedang bersandar di tiang Parthenon. Mengapa Red baru bisa melihatnya saat itu?

KEENAM, butuh usaha keras agar Red dapat membawa Blue menuju portal. Jalan yang mereka lalui juga terdiri dari banyak lorong. Hanya satu lorong yang benar yang akan membawa Blue kembali ke masa kini. Red tahu yang mana lorong yang benar, setelah diberitahu oleh “mereka”[3].
“Mereka mengatakan aku harus membawamu melintasi lorong kosong yang tidak menampilkan apa pun, kecuali kegelapan. Inilah lorong itu…” (Red, hal. 331)
Anehnya, dengan begitu mudah, Arkhos berhasil melewati portal dan tiba di masa-kininya Blue, hanya karena ia berdoa pada Dewi Athena. Demos pun berhasil menyusulnya, padahal ia tidak ikut berdoa (?).


***
Terlepas dari itu semua, ide yang diangkat penulis cukup menarik. Ditambah lagi dengan kekuatan deskripsi setting tempat dan budaya Yunani kuno, novel ini layak dibaca bagi kamu yang ingin mencicipi novel bertemakan proyeksi astral. Selamat membaca!

[1] Keluarga ini terdiri dari Thelos (sang ayah, Ione (ibu), Arkhos (putra tertua), Demos (putra kedua), Theone (putri satu-satunya), dan Aeros (putra bungsu). Termasuk juga Mesa dan Aya, dua orang budak perempuan yang sudah seperti keluarga sendiri.
[2] Di awal novel, saya kira Red perempuan. Penggambarannya membentuk kesan pada pikiran saya bahwa ia sama sekali bukan laki-laki (?).
[3] Sayangnya, identitas “mereka” ini dirahasiakan, padahal saya juga ingin tahu. Mungkin lebih jelas jika penulis memberi porsi lebih banyak untuk tokoh Red, terutama tentang usahanya menyelamatkan Blue.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets