20 April 2015

[Resensi] Hujan Pertama untuk Aysila dan Aysila Lainnya

Penulis: Edi AH Iyubenu
Editor: Muhajjah Saratini, Misni Parjiati
Tebal: 184 halaman
ISBN: 978-602-7695-88-7
Harga buku: Rp 35.000,00
Rating saya: * * * *


Aysila yang buta menunggu kekasihnya kembali, pada derai hujan pertama, sesuai janjinya. Aysila yang buta hanyalah salah satu dari Aysila-Aysila lain yang bertebaran sepanjang cerita. Aysila yang pertama membuka cerita tentang menunggu. Ia juga mencoba meyakinkan para pecinta yang sedang menunggu, bahwa “menunggu adalah harga yang selalu setimpal untuk sebuah perasaan”.
***

Sebuah kata pengantar yang ditulis oleh sang penulis, Edi AH Iyubenu, menyambut para pembaca dengan sindiran yang diajukan pada kaum penulis yang masih meyakini bahwa berimajinasi sama dengan berkhayal atau berangan-angan. Secara ilmiah, penulis mematahkan mitos tersebut, dan menegaskan bahwa, seperti kata Sartre, berimajinasi adalah “membangun dunia beserta keseluruhan simbol-simbol ideologi, emosi, ambisi, benturan, bahkan religi” (halaman 9).

Memasuki dunia yang diciptakan penulis melalui dua belas cerita pendek, saya mengamini bahwa nama Aysila memiliki kharisma tersendiri; terdengar puitis sebagaimana nama “Ranti” bagi saya. Nama-nama tokoh dalam setiap cerita sering berulang. Nama Aysila, Stefany, Pamuk, dan Akhiles adalah empat besar nama yang paling sering digunakan penulis, dan tentu saja, yang nomor satu adalah Aysila. Diakuinya pada bagian kata pengantar, “Saya memang memiliki kesukaan tersendiri untuk menggunakan nama tokoh Aysila.” (halaman 13). Bukannya tidak kreatif, melainkan penulis menggunakan kreativitas yang mungkin berbeda. Maksud saya adalah, dengan menggunakan nama yang sama, penulis bisa menciptakan tokoh-tokoh yang kadang benar-benar berbeda, tapi kadang juga membuat saya curiga: jangan-jangan penulis sengaja membuat tokoh yang sama muncul lagi.

Dalam Hujan Pertama untuk Aysila, penulis mengambil sudut pandang orang ketiga terbatas milik Aysila Dilara, si gadis buta yang setia menunggu Pamuk, kekasihnya. Namun, di cerpen Kutunggu Kamu di Hagia Sophia, Aysila adalah seorang perempuan penggemar balik ekmek[1] yang ditunggu oleh seorang lelaki.

Sementara itu, Aysila adalah gadis yang suka terbahak lepas, seperti digambarkan dalam Kue Tart yang Setia Dijaganya, Seekor Elang di Orchard, Cara Mudah untuk Bahagia, dan Tukang Cerita yang Tak Lagi Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya. Beralih ke nama Stefany, seorang gadis yang memalingkan cinta si lelaki dari Aysila, ia muncul pada cerpen Kue Tart yang Setia Dijaganya, sebagai sosok yang sinis dan dingin dalam menanggapi rayuan si lelaki. Juga di Tukang Cerita yang Tak Lagi Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya, Stefany muncul kembali. Saya paling suka kalimat Stefany yang ini:


***
Beralih ke tokoh utama laki-laki, yang nyaris semua menggunakan sudut pandang “aku”. Si “aku” kadang bernama Akhiles, Pamuk, atau anonim. Meski begitu, saya bisa menangkap satu kesamaan di antara para lelaki itu: mereka adalah pecinta sejati, atau bahkan playboy. Ia mewujud sebagai Akhiles yang gemar merayu dan membuat Aysila menunggu demi Stefany, dalam Kue Tart yang Setia Dijaganya. Dalam Seekor Elang di Orchard, ia mewujud sebagai sosok lelaki elang tak bernama, kekasih Aysila yang sedang LDR-an, dan takut gadisnya didekati lelaki lain, meski Aysila nampak setia menunggunya di negeri seberang.

“Aku” adalah sosok lelaki yang belum bisa move on dari kekasih lamanya yang paling membekas di kenangan, seperti digambarkan dalam Cerita Kesetiaan Gadis Berponi Curly (gadis itu anonim, bukan Aysila maupun Stefany), dan Kutunggu Kamu di Hagia Sophia. Dalam cerpen yang terakhir itu, “aku” masih menunggu Aysila meski ia kini sudah punya pacar baru.


Terkadang, “aku” menjadi Pamuk yang meninggalkan Aysila si gadis buta, atau Pamuk si cerdik dalam Cara Mudah untuk Bahagia, penganut Cartesian yang memegang prinsip cogito ergo sum[2] yang dengan gencarnya mendebat Erdem, kemudian mengecohnya, demi mendapatkan Aysila. Sekali waktu, ia menjelma Pamuk, si lelaki muda tampan yang dinafkahi oleh para tante kaya yang kesepian, dalam Lelaki yang Penuh Kenangan. Dalam cerpen ini, Pamuk merupakan gambaran sempurna seorang manusia kontradiktif. Pamuk adalah sosok yang playboy sekaligus setia. Ia selalu sebal karena wanita selalu mempertanyakan cinta dengan cara yang berlebihan. Ia juga sebal karena wanita sering bersikap kontradiktif pada satu waktu yang sama. Ia setia, karena yang dicintainya masihlah Aysila, gadis yang ia tinggalkan dulu. Namun, di hadapan Aysila, ia menjadi seperti wanita yang mempertanyakan cinta.



Ada beberapa cerpen yang terbebas dari nama Aysila, Stefany, Pamuk, dan Akhiles. Pertama, Madame Tussaud, yang menceritakan tentang kepahlawanan Tussaud, si seniman patung lilin. (Meski sebenarnya dalam cerpen ini sempat disinggung nama Aysila.) Kedua, Lelaki yang Menciumi Jendelanya, dengan “aku” adalah si lelaki gila yang setia menunggu kekasihnya dengan menciumi jendela. Namun, sudut pandang orang gila ini kurang terasa gila, menurut saya[3]. Ketiga, Orang-orang yang Mengganti Hatinya dengan Batu, sebuah cerpen surealis tentang orang-orang yang memilih mengganti hatinya dengan batu lantaran sudah muak melihat kekejaman dan ketidakadilan.



Berikutnya adalah Menangkap Nawang Wulan, sebuah penceritaan kembali dongeng Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Setelah Jaka Tarub melakukan kesalahan fatal yang menyebabkan Nawang Wulan kembali ke kayangan, setiap senja di telaga, ia dan anaknya menunggu kedatangannya dengan setia. Yang paling membuat saya merasa dipermainkan adalah cerpen terakhir, Tukang Cerita yang Tak Lagi Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya, yang seolah-olah adalah sambungan dari cerpen pertama. Dalam cerpen ini muncul sosok Srintil, sang ronggeng. Saya senyum terkulum membacanya. Hal lain yang membuat saya menyimpulkan bahwa tokoh-tokohnya atau ceritanya berkelanjutan adalah bagian ketika si lelaki mengenang Aysila dari cerpen sebelumnya, dalam cerpen Madame Tussaud, padahal tidak ada Aysila di cerpen itu.
***
Hujan Pertama untuk Aysila bisa dibeli di Bukupedia (langsung klik!)

Dari keduabelas cerpennya, saya perlahan mengenali pola yang selalu digunakan penulis. Beliau selalu mengangkat hal sederhana, yang mungkin bisa dialami siapa saja dalam kehidupan sehari-hari, lalu mengolahnya menjadi sesuatu yang bermakna. Plotnya sederhana. Setting tempat sederhana, yang paling sering digunakan adalah kafe, berkisar di Singapura, Turki, dan mungkin Indonesia. Konflik sederhana. Yang membuatnya jadi bermakna adalah dialog yang berbobot, sehingga terkadang saya mendapati bahwa inti cerita berada dalam dialognya. Salah satu contoh yang paling mampu merepresentasikan hal ini adalah dialog-dialog dalam Cara Mudah untuk Bahagia. Tiga orang mengobrol dalam sebuah kafe di tepi Selat Bosporus. Sederhana, bukan? Isi obrolan merekalah yang sangat tidak sederhana. Tentang prinsip hidup sang filsuf yang berbenturan dengan cara pemikiran penganut Cartesian tentang cara untuk bahagia. Cerpen ini sudah pernah saya baca sebelumnya, ketika diterbitkan oleh majalah Horison.

Selain belajar filsafat, penulis juga mengajak pembaca untuk belajar sejarah. Sejarah Madame Tussaud, kesetiaan Eva Braun dalam era Hitler, dan kisah tentara Soviet yang menyerbu Berlin pada Perang Dunia II.

Benang merah lain, selain menunggu, yang saya tangkap dari keseluruhan isi buku adalah hal berikut ini.
Lelaki selalu dianggap tidak setia, sementara perempuan selalu mempertanyakan cinta. Namun, ada saatnya di mana lelaki terlalu mencintai, sehingga ia mempertanyakan cinta yang dijanjikan si wanita. Impas.
Bagi para calon pembaca, saya berpesan, berhati-hatilah karena sebentar lagi sang penulis akan mempermainkan logikamu.[ ]




[1] Jajanan khas Turki, berupa sandwich ikan.
[2] Aku berpikir maka aku ada.
[3] Sejauh yang pernah saya baca, cerpen bersudut-pandangkan “aku” milik orang gila yang paling gila adalah Catatan Harian Seorang Gila karya Lu Xun, yang edisi terjemahan Bahasa Indonesia-nya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets