24 June 2015

[Resensi KONSTATINOPEL] Jari Kelingking, Mengapa Kau Dipilih?

Judul: Konstantinopel
Penulis: Sugha
Editor: Ambra
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, April 2015
Tebal: 272 halaman
ISBN: 978-602-296-088-1
Harga: Rp 40.000,00
Rating: 3/5
“Satu-satunya petunjuk yang mengarah kepada pelaku hanyalah potongan jari kelingking kiri korban.” 
(hal. 162)
Putra Bimasakti, atau lebih akrab dipanggil Bima, adalah lulusan terbaik dari STSN (Sekolah Tinggi Sandi Negara). Ia berhasil mendapatkan pekerjaan di BIN (Badan Intelijen Negara), sebagai staf ahli bidang politik, sekaligus asisten wakil kepala BIN. Di hari pertama masuk kerja, banyak hal telah terjadi padanya, termasuk dihukum oleh Pak Catur, wakil kepala BIN, yang dikenal susah dituruti maunya, sehingga ia sering gonta-ganti asisten.

Kala itu, suasana politik Indonesia sedang panas. Pemilihan presiden akan berlangsung sebentar lagi, dan partai-partai kuat yang saling menjadi oposisi mulai menggalang dukungan. Kemudian, suatu malam, Ine Wijaya, seorang caleg terpilih Partai Generasi Baru (partai si presiden sekarang), ditemukan tewas tertabrak kereta. Bukan kebetulan, Ine Wijaya ini adalah salah satu teman dekat Cinta Clarissa, putri angkat Presiden Rukmawan. Oleh karena itulah, presiden meminta Pak Catur untuk menyelidiki kasus kematian Ine yang dianggap tidak wajar.

Cinta adalah orang terakhir yang mengobrol dengan Ine, lewat telepon, hingga ia dipanggil menjadi saksi. Setelah diperiksa sebagai saksi, Cinta pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Ketika diperiksa itulah, dokter mengetahui bahwa Cinta sedang hamil 3 bulan. Presiden kalang kabut dibuatnya. Ketika sedang memeriksa TKP, Bima menemukan fakta bahwa kematian Ine memang disebabkan oleh kecelakaan belaka. Namun, ada satu hal yang unik, jari kelingking Ine putus.

Setelah itu, terjadi kecelakaan lagi yang menimpa teman baik Cinta yang lain, Sandra. Kali ini kebakaran rumah, yang awalnya tampak seperti kecelakaan biasa. Situasi berubah setelah jari kelingking mayat Sandra hilang. Dua orang teman baik Cinta meninggal dalam waktu berdekatan. Hal ini membuat Presiden mengutus Pak Catur untuk menyelidiki kasus tersebut. Bima kemudian ditugaskan menjadi pengawal Cinta. Ketika menjadi sopir Cinta itulah, Bima bertemu dengan Roman, reporter Channel-9, yang juga teman Cinta. Dari informasi yang dberikan Roman, Bima menyadari keterkaitan antarkorban.

“Konstatinopel adalah nama perkumpulan yang dibentuk oleh tujuh mahasiswa Indonesia yang pernah kuliah di Universitas Istanbul, Turki.” 
(Bima, hal. 84)
Ketujuh orang itu adalah Ine Wijaya, Sandra Sienna Dewi, Roman Abdurrahman, Cinta Clarissa, Januar Tan, Juan Sandjaya, Felyx Marpalele. Dari Roman, Bima juga mengetahui bahwa pertemanan di antara ketujuh orang itu kini tak seperti dulu.
“Namun, begitu kami lulus dan kembali ke Indonesia, begitu banyak kepentingan yang membuat kami tidak seharmonis dulu.” 
(Roman, hal. 58) 
Ine dan Sandra telah meninggal. Kemudian disusul oleh Roman, yang ditembak dari jarak jauh. Bima berhasil mengejar penembak dan mengenali postur tubuhnya, yang diduga bukan orang Indonesia. Kali ini, setelah mencuri jari kelingking Roman, si pembunuh meninggalkan pesan di dinding kamar Rumah Sakit Polri. Pesan itu ditulis dengan bahasa Turki, hingga menimbulkan kecurigaan bahwa pembunuhnya salah satu dari Januar, Juan, atau Felyx.


Berpacu dengan waktu, Bima harus memecahkan kasus ini, sebelum korban berikutnya jatuh.

***

Sepanjang pengetahuan saya (yang masih sempit), jarang ada penulis Indonesia yang menulis cerita detektif. Salah satu penulis genre ini yang saya kenal tulisannya bagus adalah Mbak Ruwi Meita (saya baru mau baca Misteri Patung Garam, huehehe).

Pertama kali melihat buku ini, saya langsung suka desainnya sampulnya yang abstrak dan sederhana, tapi menimbulkan kesan misterius akibat jalinan garis ruwet itu, yang mengingatkan saya akan pola sidik jari manusia yang diperbesar. Kemudian tagline "misteri di balik jari kelingking yang hilang" juga membangkitkan rasa penasaran.

Dengan sudut pandang orang ketiga, penulis secara leluasa menceritakan berbagai adegan, dengan tetap menyembunyikan identitas pembunuh dan motif pembunuhan sampai akhir. Alur yang dibangun cukup cepat, tapi mudah diikuti. Penyingkapan-penyingkapan misteri yang dilakukan oleh Bima berlangsung tahap demi tahap secara masuk akal. Menurut saya, faktor inilah yang menentukan suatu cerita detektif bagus atau tidak: kelogisan penyingkapan misteri. Karena itulah, novel Konstatinopel ini bukan novel detektif yang kitsch.

Twist tentang identitas pembunuh yang dibangun penulis menjelang akhir berhasil membangkitkan suspens dan rasa penasaran. Meski begitu, saya sudah curiga bahwa ia bukanlah pembunuh sebenarnya, karena begitu mudahnya barang bukti ditemukan, seakan sudah "disediakan". Menjelang akhir, saya sempat menebak bahwa pembunuh sebenarnya adalah itu, tuh, dan ternyata benar. (Mungkin saya yang terlalu cerdas, wkwkwk.)

Saya menemukan beberapa hal yang kurang logis. Pertama, hanya untuk mencari hari tanggal lahir tiap anggota Konstatinopel, Bima harus ke warnet dulu? Karena ia sudah tahu tanggalnya, bukankah bisa mengecek harinya lewat kalender HP? Lebih cepat, kan, dan nggak perlu ke warnet seberang rumah. (hal. 130) Tapi argumen saya ini langsung patah dengan mudah jika ternyata Bima tidak punya HP.

Kedua, tentang penggunaan sidik jari Cinta di atas kertas oleh pembunuh untuk membuka sekuriti apartemen (hal. 255). Seperti yang diungkapkan oleh artikel berikut ini, cara memalsukan sidik jari tak semudah langsung menempelkan kertas bekas tinta sidik jari korban ke mesin sekuriti, karena kapasitansi kertas tentu saja berbeda dengan jari manusia. Bahan yang paling mendekati kapasitansi jari manusia adalah gelatin, yang bisa digunakan untuk membuat jari palsu. Kalaupun bisa, pola sidik jari di atas kertas harus diedit dulu untuk menghilangkan noda-noda atau partikel lain yang bukan merupakan bagian dari sidik jari, kemudian melewati beberapa proses selanjutnya. Sayangnya, di dalam bagian akhir novel ini, tidak dijelaskan bagaimana tepatnya si pembunuh melakukan pemalsuan sidik jari.

Ketiga, mengapa si pembunuh memilih membakar rumah Sandra untuk membunuhnya? Bukankah kejahatan jenis itu belum tentu akan mematikan si Sandra? Belum tentu, kan, Sandra terbakar sampai mati? Tingkat "tepat sasaran"-nya jauh lebih rendah dibandingkan penembakan, misalnya. (hal. 33)

Membaca buku ini kita tak melulu disuguhi nuansa kelam. Ada adegan-adegan konyol yang diselipkan penulis, seperti ketika Bima yang digodain Bu Betty, tetangga seberang apartemen Cinta yang tubuhnya amat besar dan genit (hal. 94). Namun kadang selipan hal-hal konyol itu merusak suasana cerita, menurut saya, sih. Ada juga dialog yang rasanya, kok, tidak cocok digunakan dalam novel misteri seperti ini.
Bima : Turki? Jadi kalian semua pernah kuliah di Turki?
Roman : Ya!
Bima : Wow, hebat! Kalau begitu, kalian bisa bahasa Turki, dong?
(hal. 57)
Dialog di atas, contohnya. Penting banget, ya, Bima nanyain secara lebay gitu? Hoho. Hal lain yang mengganggu saya dalam dialog adalah penggunaan kata ganti "aku" dan "gue" yang tidak konsisten, seperti yang digunakan Cinta pada halaman 53.

Saya mengapresiasi penulis yang berani mengambil profesi tokoh utama yang jarang dituliskan sebelumnya, yaitu penyelidik BIN. Sejauh ini, saya hanya mengetahui bahwa para intel yang bekerja di bawah BIN menjalani hidup penuh rahasia, sehingga membaca buku ini seolah membuka tabir gelap. Mungkin pandangan saya sama seperti Roman memandang orang-orang BIN.
Roman : Ternyata memang sulit berbicara dengan orang-orang BIN. Semuanya serba rahasia. Baiklah!
Bima : Sama, susah juga bicara sama reporter, mau tahu urusan orang lain saja! 
(hal. 55)
Ternyata pekerjaan orang-orang BIN seperti itu, to. Saya sempat kesal akan perlakuan Pak Catur yang memanfaatkan Bima. Seenaknya, Pak Catur mengakui hasil pemecahan pola pembunuhan yang berhasil ditemukan oleh Bima sebagai miliknya.
"[...] rupanya Pak Catur ingin memanfaatkannya untuk popularitas dirinya sendiri." 
(hal. 148)
Saya juga kesal membaca bahwa senioritas diagungkan di BIN, termasuk juga penggunaan kata-kata yang menghina, seperti ini.
Bima : Tunggu di sini? Saya tidak diikutkan ketemu Presiden?
Pak Catur : Eh, kamu itu seharusnya sadar kalau kamu cuma seorang asisten. Jangan berharap bisa bertemu Presiden. Bahkan mungkin melihat mukamu saja, beliau pasti malas. 
(hal. 17)
(Memangnya, muka Bima kenapa, Pak?)

Tak hanya itu, novel ini juga merambah dunia politik menjelang pemilu presiden. Berbagai intrik dan kepentingan politik mewarnai penyingkapan kasus pembunuhan berantai. Apalagi, Juan adalah putra dari oposisi Presiden Rukmawan. Melaui tokoh Ine, penulis menyampaikan selentingan tentang satu bagian bobrok dari politik Indonesia.
“Ternyata orang Indonesia lebih suka punya wakil rakyat yang bokongnya seksi daripada yang otaknya pintar.” 
(Ine, hal. 9)
Meskipun diceritakan secara logis, bagian kesimpulan penyelidikan Bima di akhir, yang mengungkap siapa pembunuh sebenarnya, terasa terburu-buru dan ruangnya terlalu sempit. Saya juga menyayangkan, penulis tidak menjelaskan mengapa Turki dan jari kelingking dipilih. Hal ini membuat motif pembunuh kurang kuat dan terlihat dibuat-buat. Tapi saya cukup puas akan suguhan cerita detektif dalam Konstatinopel. Selain itu, saya juga mendapat pengalaman baru dengan terjun dalam lingkup kerja BIN. Novel ini juga mengandung satu pesan inti, yang disampaikan secara eksplisit oleh Bima.
“Memang, mengakui sebuah aib rasanya sangat memalukan. Tapi, menutupi sebuah aib dengan kejahatan lainnya adalah suatu tindakan yang sangat biadab!” 
(Bima, hal. 270)
Untuk novel misteri dan detektif karangan penulis lokal ini, saya memberikan rating 3,5 dari 5, yang saya bulatkan ke bawah. Meski begitu, buku ini sangat layak dibaca, atas rasa tersendiri yang dihadirkannya lewat tokoh detektif yang membumi seperti Bima, bukan detektif yang seperti dewa lantaran susah dimengerti proses analisisnya, seperti Sherlock Holmes (meski saya tetap ngefans Sherlock Holmes, sih) ^^.

3 comments:

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets