22 August 2015

[Resensi CARAPHERNELIA] What If I Can't Forget You?

Judul: Caraphernelia
Penulis: Jacob Julian
Editor: Ambra
Penerbit: PING!!!
Cetakan: I, 2015
Tebal: 196 halaman
ISBN: 978-602-279-178-2
Harga: Rp 36.000,00
Rating saya: 2/5

"Tidak ingat apa-apa adalah hal yang paling dibenci orang." 
(hal. 6)
Begitu pula yang dialami oleh Jona, ketika ia terbangun dalam sebuah kamar kos yang terkunci. Tubuhnya terasa lemah dan sikunya berdarah. Di dalam kantong jaketnya, ia temukan sebilah silet, yang kemungkinan telah ia gunakan untuk menyayat sikunya. Di atas meja dan di dalam kantong jaket ia temukan kertas-kertas serupa resep obat.
“Jona, kau masih di sana?”
Jona… dia mendengar nama itu. Jona… apa itu namanya?
“Jona? Dengarkan aku! Aku sudah menunggu—”
“Siapa ini?” Suara Jona terasa berat.
“Aku Alvin! Ini Jona, bukan? Siapa kau?!”
“A…aku… tak tahu siapa diriku.”
 
(hal. 15 – 16)
Setelah Alvin meneleponnya, ia perlahan ingat bahwa kamar kos yang ia tempati adalah milik temannya itu. Niat baik Alvin untuk menolong Jona tolak dengan keras kepala. Setelah itu, Jona benar-benar sendiri dalam keadaannya yang menyedihkan. Ia berjalan menyusuri jalanan. Rasa lapar mengantarnya masuk ke dalam minimarket. Nasib mengantarnya bertemu dengan seorang perempuan yang mengenalinya, Alana. Tak ingin menyakiti temannya lagi, Jona menerima uluran bantuan Alana. Selama beberapa hari, Jona tinggal di apartemen Alana. Sampai sebuah suara milik perempuan bernama Mae menyapanya lewat telepon, dan mengingatkannya bahwa perempuan itulah alasannya menghilangkan ingatan.
***

Sejak bab pertama, novel ini membuat saya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Bahkan sejak membaca judulnya yang bikin dahi berkerut dan lidah keseleo itu--meski sampul depannya menarik dan enak dipandang, sih.

Mengapa Jona lupa ingatan? Lantas, saya mengantisipasi apabila nantinya alur novel ini akan mengungkapkan bahwa ingatan Jona dihapus oleh sebuah sistem komputer di suatu masa depan yang penuh dystopia. Haha, ini hanya khayalan saya akibat terlalu terkontaminasi oleh genre dystopian young adult. Hmm, ternyata penulis membawa saya ke permasalahan putus cinta yang mampu membuat seseorang melakukan hal bodoh dan berbahaya. Yah, agak kecewa sebenarnya (ya, udah, kamu bikin cerita sendiri aja, Cung!). Adalah hal lebay menurut saya, ketika putus cinta dan melakukan hal bodoh. (Saya juga pernah patah hati, tapi nggak sampai gitu juga, kali -_-)

Selain menggunakan alur maju untuk menceritakan apa yang Jona lakukan selanjutnya, penulis menggunakan alur balik untuk menceritakan ketika Jona bertemu seseorang yang menjual obat pelupa ingatan padanya. Setelah itu, alur balik muncul saat beberapa fragmen ingatan Jona pulih. Pemilihan kombinasi dan proporsi alur seperti ini sudah pas, untuk menjelaskan apa yang perlu penulis jelaskan.

Novel ini berlatarkan waktu dengan rentang yang cukup sempit, hanya beberapa hari (kalau tidak salah dua hari, maaf kalau ternyata salah, hehe), sehingga padat peristiwa. Suasana “gelap” mewarnai sepanjang novel.

Sebagai tokoh sentral, pemikiran dan perasaan Jona terdeskripsikan secara memadai. Terutama saat ia terbangun dari tidur dan mendapati ingatannya terhapus. Meski menggunakan sudut pandang orang ketiga, kekacauan pikirannya tergambar dengan baik. Pun ketika ia berhalusinasi dikejar segerombolan laki-laki di jalan. Membaca ini saya menyimpulkan bahwa Jona adalah lelaki pengecut, yang tidak berani menghadapi masalahnya.

“Aku lakukan ini hanya karena ingin melupakan sesuatu!” 
(Jona, hal. 28) 
“Manusia diberi masalah bukan untuk dilupakan. Tapi dihadapi.” 
(Alvin, hal. 29)

Namun, menurut penuturan Alana, dulu Jona tidak seperti itu. Jadi, masalah putus cinta telah mengubah sikapnya jadi negatif.

“Aku dulu tidak mengenalmu seperti ini. Kamu bukan orang yang gampang menyerah.” 
(Alana, hal. 74)


Pada masa nebengnya di apartemen Alana, saya mendapati satu lagi bukti kepengecutan Jona. Ketika Alana sedang tidur, diam-diam dia mengambil uang dari dompet perempuan itu. Saya bisa memahami bahwa hidupnya sedang terpuruk dan ia tak punya uang (uangnya yang berjumlah mepet telah dibelikan minuman dan roti kedaluwarsa di minimarket). Perbuatan Jona ini mengesankan “aji mumpung”. Namun, jika saja ia mengurangi gengsinya dan meminta baik-baik, pasti Alana bersedia meminjamkan uang.

Jona juga memiliki kegengsian tingkat tinggi. Terbukti dengan penolakan yang ia lakukan terhadap bantuan Alvin. Namun, ketika yang menolongnya adalah seorang perempuan cantik (baca: Alana), ia berusaha menekan gengsinya, dan cukup berhasil.

“Aku lebih baik untuknya daripada siapa pun.” 
(Jona, hal. 114)


Itu kalimat yang dilontarkan Jona setelah ingat bahwa yang membuatnya terpuruk adalah cinta bertepuk sebelah tangan. Mae, gadis yang dicintainya, malah memilih teman Jona. Kalimat itu mengesankan bahwa Jona adalah orang yang terlalu pede, tapi tidak bertindak positif dengan pedenya itu.

Ada satu lagi sifat negatif Jona: licik. Awalnya, ia selalu menolak saran Alana untuk menemui Mae dan membereskan masalahnya. Tapi, tiba-tiba Jona berubah sikap, setelah ia mendapatkan senjata untuk menghadapi Mae nanti.

Alana adalah tokoh pendukung yang cukup banyak berperan dalam cerita. Penulis menciptakan kekontrasan dalam tokoh ini. Ia digambarkan sebagai perempuan cantik yang memiliki banyak pacar (sebut: bukan cewek baik-baik). Di sisi lain, ia peduli dan perhatian terhadap Jona, sehingga memprioritaskan pemulihan Jona. Namun terlalu cepat ketika di akhir cerita tiba-tiba Alana jatuh cinta terhadap Jona. Hmm, meski tak dipungkiri bahwa tak tertebak kapan cinta akan jatuh. Cukup masuk akal sebenarnya, karena selama beberapa hari itu hubungan Alana – Jona berlangsung sangat intens.

Sementara itu, tokoh Alvin dan Mae mengambil secuil porsi dalam novel ini, meski peran mereka juga penting di masa lalu Jona.

Kini waktunya mengkaji novel ini. Ada beberapa poin yang ingin saya elaborasikan.
  1. Mengenai penggunaan kata “bergeming”. Selama ini banyak kesalahan penggunaan kata tersebut, karena salah pengartian. Menurut KBBI, “bergeming” = tidak bergerak sedikit juga; diam saja. Jelas, maknanya salah ketika Jacob Julian menulis seperti ini “… sehingga kini yang dirasakannya adalah sebuah hantaman pada lemari yang tidak bergeming” (hal. 4-5). Sepanjang membaca, saya menemukan tak hanya satu “bergeming” sejenis itu.
  2. Kebanyakan struktur kalimatnya berbelit dan kaku. Ini bukan karya pertama Jacob Julian yang saya baca. Sebelumnya ada You’re Not Funny Enough. Yang membuat saya tercenung, membaca gaya penulisan Caraphernelia tidak seperti tulisan Jacob Julian. Mungkin karena novel ini sudah cukup lama ditulis, yaitu tahun 2013, jadi gayanya yang sekarang sudah berubah. Menurut observasi saya, kalimat-kalimat yang ia jalin di sini kaku dan kadang sulit dimengerti maksudnya. Novel ini sulit dinikmati. Belum lagi beberapa typo yang mengganggu. Berikut ini adalah contohnya.
    “Lalu secara berurutan dengan memacu napas yang tersengal, pertanyaan yang lain keluar dari pikirannya satu per satu, ingin dia teriakkan tapi tak bisa.” (hal. 7) 
    “Tapi tidak ada di dalam diri Jona untuk segera meminta maaf kepadanya.” (hal. 76) 
    “Kalau tempat pelampiasanku adalah… kamu. Apakah itu berarti saat kamu punya masalah, kamu bisa saja tidak datang padaku?” (hal. 83)
  3. Ada kalimat yang tidak pas. Berikut ini adalah contohnya.
    “Orang baik tidak akan membiarkan tangannya terluka seperti itu.” (hal. 57)
    Apa hubungannya? Mungkin “orang baik” lebih cocok jika diganti “orang waras”, wkwk >,<
    “Kami bahkan tidak mencintai.” (hal. 113)
    Makna kalimat ini akan lebih pas jika diselipi kata “saling”.
    “Seperti topeng yang dikenakan oleh orang dari masa lampau untuk mengganti identitasnya.” (hal. 127)
    Hmm, topeng yang mana, ya? Hehe.
  4. Ketidaklogisan cerita. Dari mana Jona punya uang untuk membeli lagi obat pelupa ingatan? Setahu saya, saat itu ia sedang tak punya uang dan ia belum mencuri uang Alana.
  5. Sebenarnya obat apa, sih, itu? Apa benar ada obat seperti itu? Setelah melakukan studi pustaka (studi pustaka skripsimu aja belum ditulis, Cung!), ternyata memang benar ada obat macam itu!

    WebMD menyebutkan bahwa jenis obat antidepresan, antihistamin, anti-kecemasan, perelaks otot, obat penenang, obat tidur, dan pengurang rasa sakit pascaoperasi bisa turut berperan dalam hilangnya ingatan seseorang.

    Medical Daily menyebutkan jenis obat serupa, tapi lebih lengkap beserta contoh nama obatnya dan cara kerja obat-obatan tersebut yang bisa menyebabkan lupa ingatan. Selain itu, ia juga menambahkan jenis obat chlolesterol, obat hipertensi,
     
  6. Mengapa judulnya CarapherneliaSaya menemukan bahwa Caraphernelia adalah judul lagu oleh Pierce The Veil (kamu bisa baca liriknya di sini). Dari lagu tersebut, populerlah istilah ini untuk menyebut (menurut Urban Dictionary):

    Ah, saya dapat satu kosakata gaul baru! Hahaha :D
  7. Mungkin ini ketidaktelitian saya, tapi mengapa Jona harus menyilet sikunya, sih?


Bagian akhir novel ini cukup meresahkan, karena nggantung nggak ketulungan! Meski pembaca mungkin bisa menebak, sih, siapa sebenarnya “pria bermulut manis” yang dicintai Mae itu. Sebuah akhir yang cukup memuaskan.

Amanat novel ini adalah tak ada yang salah dengan patah hati, tapi yang salah adalah membiarkan diri sendiri berbuat bodoh karena alasan tersebut. Apalagi sampai mencelakakan orang lain. Adalah perbuatan sia-sia melupakan ingatan sendiri, karena cepat atau lambat ingatan itu pasti kembali. Lupa lagi? Lama-lama pasti akan kembali lagi! Kecuali setelah menelan obat pelupa ingatan, Jona mengasingkan di sebuah pulau tak berpenghuni, sehingga nyaris tak mungkin bertemu orang-orang dari masa lalunya.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets