7 October 2015

[Resensi KETUA KEDUA] Klub Cosplay, Simbol Ekspresi Diri yang Terkekang

Judul: Ketua Kedua
Penulis: Suci Salihati
Editor: Diaz
Penerbit: PING!!!
Cetakan: I, 2015
Tebal: 188 halaman
ISBN: 978-602-296-011-9
Harga: Rp 35.000,00
Rating saya: 3/5


Sejarah Berdirinya Klub Cosplay SMA Terpadu Senarai Cendekia Tangerang



"'Ini yang maksudnya tidak manusiawi! Coba lihat nilainya!'
I Randu Arsakti, rata-rata nilai 99,95" (hal. 4)

SMA Terpadu Senarai Cendekia Tangerang menerapkan peraturan untuk memamerkan nilai rata-rata semua murid di papan pengumuman. Implikasinya adalah ada murid yang malu akan kebobrokan nilainya, tapi ada juga yang biasa saja, seperti Randu. Bagaimana tidak, namanya selalu ada di peringkat I! Hmm, tapi siapa sangka, ternyata si peringkat I punya rahasia jitu bagaimana cara meraih nilai yang tak manusiawi itu...

Hal tersial Randu mungkin adalah rahasianya diketahui oleh Yara, si cewek trouble maker yang sering masuk-keluar kantor guru karena bermasalah. Randu terpaksa menyetujui permintaan Yara agar cewek itu tidak membocorkan rahasianya.

"Yang pertama, bantu aku menyontek. Yang kedua, bantu aku mendirikan ekstrakurikuler baru." (Yara, hal. 17)

Tentunya nama baik Randu di mata para guru memberikan keuntungan bagi Yara, yaitu ekstrakurikulernya akan memiliki peluang lebih besar untuk bisa berdiri! Omong-omong, ekstrakurikuler apaan, sih?

"Jadi, aku mau membuat sesuatu yang kuberi nama Klub Cosplay. Bagaimana?" (Yara, hal. 29)

Terdengar seru, tapi awalnya Randu pesimis... Yah, sebelum ia tahu bahwa ternyata Ayesha adalah teman Yara, dan ia adalah anggota bayangan klub itu! Ayesha, cewek yang ditaksir Randu itu adalah anak Pak Arif, wakil kepala sekolah yang sangat sentimen terhadap Yara. Ayesha harus sembunyi-sembunyi untuk bertemu dengan Yara ataupun untuk ikut kegiatan klub. Karena apa lagi kalau bukan ayahnya yang terlalu menekan dan mengaturnya untuk belajar terus dan terus belajar agar nilainya bisa mengalahkan Randu!

"Paling tidak, kalau kamu tidak sanggup peringkat satu, nilai rata-ratamu naikkan sedikit. Jangan bikin Ayah malu." (Pak Arif, hal. 149)

Perjuangan mendirikan klub Cosplay tak mudah, terutama karena interupsi Pak Arif. Namun ternyata Pak Ilmawan, sang kepala sekolah, menyetujui pembentukan klub itu. Pak Arif pun dengan terpaksa menyetujui, dengan syarat Randulah yang harus jadi ketua. Kemudian Yara mencetuskan ide untuk mengikuti lomba cosplay! Keengganan Randu dan jam malam yang Ayesha ketat, apakah bisa mendukung ide Yara tersebut?

***

Background yang Kurang Memadai


Ditujukan untuk pembaca remaja, dengan tokoh utama remaja, dan berlatarkan dunia sekolah, novel ini ditulis dengan gaya bahasa yang "nggak remaja banget", tapi tetap mengalir dan mudah diikuti. Saya bilang "nggak remaja banget" karena, salah satu contohnya, meski latarnya di Tangerang, para tokohnya tidak berbicara memakai "lo-gue". Tenang saja, meski begitu, dialog antartokohnya tetap natural, kok.

Tema persahabatan yang diangkat penulis cukup esensial. Karena meski persahabatan Yara-Randu-Ayesha tak sempurna, mereka sanggup bertahan bersama dalam memperjuangkan klub Cosplay. Terdengar simpel dan remeh memang, tapi Klub Cosplay ini menjadi semacam simbol atas hak kebebasan berekspresi mereka sebagai remaja yang harus diperjuangkan.

Ada beberapa hal yang perlu saya pertanyakan. Mengapa Pak Ilmawan sebegitu mudahnya menyetujui pendirian klub Cosplay? Lalu, sebenarnya apa sih alasan Yara menyebut klub Cosplay itu didirikan demi Ayesha?

Awalnya saya berekspektasi akan mendapati kenyataan bahwa Ayesha ternyata sangat mencintai Cosplay karena suatu alasan yang sangat menarik simpati dan masuk akal, sehingga Yara sedemikian berjuangnya untuk mendirikan klub itu. Saya agak kecewa karena motivasi Yara sendiri juga kurang jelas dan kuat, kenapa ia begitu mencintai cosplay. Mungkin jika penulis menyelipkan hal prinsipiil di baliknya, cosplay akan jadi lebih menarik. Kalau tidak salah, ada bagian yang sekilas menunjukkan bahwa Ayesha menyukai cosplay karena dengan berdandan a la orang lain, ia bisa bebas sejenak dari identitasnya sendiri. Identitas yang sangat menekannya, karena ia adalah anak Pak Arif. Pasti sangat berat menjadi seorang Ayesha. Mungkin motivasi ini akan jadi lebih kuat jika dieksplorasi lebih lanjut.

Selain itu, kurang jelas pula motivasi Randu untuk melakukan rahasianya selama ini. Mungkin keterbatasan halaman memberi andil pada terbatasnya ruang gerak penulis untuk lebih mengeksplorasi motivasi tiap tokoh utamanya.

***

Klub Cosplay, Simbol Inferioritas Seni terhadap Dunia Akademis


Ada beberapa highlight dari novel ini yang perlu saya elaborasikan.


1. Klub Cosplay

Berapa banyak SMA, sih, yang punya Klub Cosplay? Ini unik, menurut saya. Saya menangkap bahwa klub ini dijadikan penulis sebagai simbol dunia pendidikan di Indonesia saat ini, yang masih menganggap dunia/prestasi akademis lebih penting daripada kegiatan berbau seni. Baiklah, mungkin ini salah satu "tangan" pencipta generasi pemuja hardskill. Ilmuwan tanpa hati.

2. Ketiga anggota klub Cosplay

Cuma beranggotakan tiga orang dengan kombinasi yang aneh, klub Cosplay tersebut mampu berdiri.
Pertama, Yara, alias Tiara. Saya tak bisa mangkir bahwa cewek trouble maker itu adalah tokoh favorit saya dalam novel ini. Karakternya mencerminkan pemujaan mutlak terhadap kebebasan, tapi anehnya hati Yara sangat peduli terhadap temannya, bahkan sampai taraf berani berkorban. Ia selalu berusaha melindungi Ayesha dan Randu agar tak turut tercemar nama baiknya akibat ketahuan bergaul dengan seorang trouble maker seperti dia. Selain itu, terlihat dari betapa keukeuhnya dia mendirikan klub Cosplay dan berjuang agar klub itu tetap bisa bertahan, Yara adalah sosok yang pantang menyerah. Penulis berhasil membuat saya merasakan seberapa sebalnya Yara saat Pak Arif menghinanya. Ugh, guru macam apa Pak Arif itu.

"Saya bahkan lebih percaya koruptor yang masuk TV daripada kamu." (Pak Arif, hal. 134)

Dan saya suka cara Yara membantah tuduhan-tuduhan Pak Arif. 

"Anak ini melihat langsung kalau kamu--"
"Apalagi cuma melihat langsung. Jangan bilang juga dari jauh? Bapak termasuk orang kolot yang percaya kalau seeing is believing? Kalau istri Bapak kelihatan mengobrol akrab dengan tukang sayur, Bapak akan menuduh istri Bapak selingkuh? Padahal istri Bapak cuma menawar harga tempe!"
(hal. 135)

Kedua, Randu. Tokoh ini merupakan simbolisasi topeng. Banyak orang tak seperti apa yang terlihat dari luar. Di balik reputasinya yang teramat baik, ternyata ia menyimpan rahasia busuk. Tapi Randu tak akan sebusuk koruptor uang rakyat, kok. Meski diklaim sebagai anak terpandai seangkatan, Randu ternyata adalah cowok pemalu. Telah lama naksir Ayesha, tapi memulai dialog saja ia gemetaran. Meski awalnya ia enggan dan pesimis akan klub Cosplay, akhirnya ia cukup berdedikasi sebagai ketua jadi-jadian. Yah, meski motif awalnya memang karena ada Ayesha, sih.

Ketiga, Ayesha. Ia adalah karakter yang berkebalikan dengan Yara. Kalem dan rajin belajar, serta takut membantah ayahnya (meski Pak Arif terlalu menekannya). Anak ini juga pandai menjahit, lho! Untunglah, nantinya ia bisa membuktikan diri pada ayahnya.

3. Pak Arif, duta orang tua sekaligus guru penjajah kreativitas


Seperti sudah saya singgung sedikit sebelumnya, Pak Arif adalah sosok yang mewakili sekian banyak orang tua dan/atau guru di negeri ini yang hobi memenjara anak-anak muda dalam persepsi "benar" menurut mereka. Berbeda berarti salah. "Benar" menurut mereka dianggap mutlak, padahal itu relatif. Mungkin inilah semboyan yang dianutnya. Jika iya, maka semboyan ini turut bertanggung jawab atas ketertinggalan pendidikan Indonesia dibandingkan negara-negara maju, di mana perbedaan dan kreativitas dihargai sebagai kekuatan individu.

***

Last Thoughts


Dibalut dengan cover yang sangat mencerminkan kemudaan, dengan dominasi warna biru muda (yang katanya memiliki makna kejernihan pikiran dan komunikasi, yang mengilhami ekspresi diri), Ketua Kedua tampil menyegarkan. Namun, gambar dua tokoh di cover depan terlihat kurang halus, dan background kertas-kertas hasil ujian yang bertebaran itu agak aneh. Tertulis nama Randu di satu kertas, dengan nilai 9, dan di kertas yang lain tertulis nama Ayesha, dengan nilai 4. Mengingat kepandaian dan ketekunan Ayesha, sepertinya yang lebih cocok mendapat nilai 4 adalah Yara.

Sebagai novel teenlit, Ketua Kedua menyajikan cerita yang cukup berbobot. Dengan agak malu-malu, ceritanya mewakili aspirasi para remaja terhadap "kelaziman" yang mengekang, terutama dalam dunia pendidikan formal. Dengan bersenjatakan tokoh-tokoh yang tak sempurna tapi masing-masing memiliki keunikan, dan persahabatan yang terjalin atas perbedaan, novel ini seolah mengatakan bahwa berbeda itu manusiawi dan kodrati; berbeda tidak salah.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets