19 February 2016

[Resensi Reruntuhan Musim Dingin] Musim Dingin Berlalu, Musim Dingin Runtuh Perlahan

Judul: Reruntuhan Musim Dingin
Penulis: Sungging Raga
Editor: Ainini
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, Januari 2016
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-602-391-079-3
Harga: Rp 50.000,00
Rating saya: 3/5

Sungging Raga pertama saya kenal lewat cerpen "Sebatang Pohon di Loftus Road" (Kompas, 14 April 2013), yang saya baca karena terdorong oleh rasa penasaran pasca-membaca cerpen Bernard Batubara yang berjudul "Seorang Perempuan di Loftus Road" (dalam kumcer Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri), yang merupakan tanggapan dari cerpen Sungging tersebut. Cerpen Sungging diceritakan dengan sudut pandang orang pertama di laki-laki, sedangkan cerpen Bara dari sudut pandang si perempuan. Kesan yang berhasil saya petik di perkenalan pertama dengan Sungging itu adalah tema cinta yang dibalut elemen sureal berupa mitos bahwa perempuan yang menunggu seorang lelaki yang tak kunjung datang melewati waktu janjian, akan berubah menjadi pohon. Sungging menceritakan pertemuan dan perpisahan yang menyesakkan tapi indah. Pun saya sudah bisa menangkap gaya bahasa Sungging yang syahdu, seperti perumpamaan "senyumnya yang serupa alunan nada akordion".

Ini kali kedua perkenalan dengan Sungging. Reruntuhan Musim Dingin, buku kumcer pertama dari lini "Sastra Perjuangan", berhasil membentuk pemahaman akan kekhasan cerpen Sungging. Lini penerbitan yang baru dari DIVA Press ini mencoba mengakomodasi relasi idealis antara penulis sastra, karya sastra, dan pembacanya.
"Kupikir, sebaiknya kamu jangan jatuh cinta kepada penulis. Ia lebih banyak memeras kenangan, sebanyak mungkin dari dirimu, untuk kemudian ditinggalkan." (Reruntuhan Musim Dingin, hlm. 68)
Sebagaimana dituliskan oleh Tia Setiadi dalam Kata Pengantar, "Sastra adalah seni yang memangsa dan menjarah. Apa yang dijarahnya adalah kehidupan.", penulis memeras kenangan dari kehidupannya maupun segala makhluk di sekitarnya demi melahirkan karya sastra. Gaya penulisan yang dimeriahkan oleh teknik, simbol, dan metafora, pemerasan kenyataan itu menjadi tersamarkan. Dalam cerpen-cerpennya, Sungging menggunakan bahasa yang lugas, padat, dan efektif, tapi tak lepas dari jerat metafora yang kadang tak terduga.
"Wajah perempuan itu memang cantik, ia memiliki senyum yang begitu tipis dan ringan, berat senyumnya hanya satu miligram, seperti judul lagu From Autumn to Ashes, 'Milligram Smile', tapi senyum itu begitu memukau." (Dermaga Patah Hati, hlm. 38)
'Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.'" (Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus, hlm. 49)
"Wanita itu bernama Kunnaila. Hidupnya meliuk seperti ilalang, penderitaannya setebal hujan." (Biografi Kunnaila, hlm. 153)
Sungging pun gemar memainkan emosi pembaca. Gaya tuturnya melemparkan pembaca, yang sebelumnya telanjur terisap dalam jagat fiksi, kembali ke kenyataan. Seperti ulasan Tia Setiadi dalam kata pengantarnya (hlm. 12), yang menyebut teknik ini sebagai "pembocoran". Namun, sekiranya Sungging terlalu banyak membuat pengakuan dosa semacam itu, maka hancurlah segala dunia fiksional yang sedang dibangunnya.
"'Bagaimana kalau esok matahari tak terbit lagi?' Lelaki itu bertanya dengan senyum tertahan.
'Jangan terlalu sentimental. Kita tidak sedang hidup di dalam cerita surealis.'" (Selebrasi Perpisahan, hlm. 30)
"Namun Watono telah berjanji bahwa dalam cerita pendek ini dia tak berniat macam-macam pada Kunnaila, dia tak mau memaksakan konflik dan jalan cerita sesuai kehendaknya, dia hanya ingin dirinya muncul dalam cerita pendek ini meski cuma satu paragraf. Katanya, agar bisa diceritakan kembali kelak pada anak dan cucunya." (Biografi Kunnaila, hlm. 152)
Selain dengan teknik pembocoran, cerpen-cerpen Sungging tak jarang menimbulkan kesan sendu tapi dingin dan/atau datar, melalui dialog maupun narasinya. Dalam "Selebrasi Perpisahan", dialog sepasang kekasih yang akan berpisah di Terminal Tawang menguarkan aroma sendu campur ketegaran atau efek "dingin". Dari sini pembaca juga bisa menangkap bahwa ruh penting cerita justru bisa diserap melalui dialog kedua tokoh, yang menyimpan degup perpisahan tapi bersemburat ketegaran dalam usaha menerima kenyataan. Bisa dikatakan bahwa Sungging mengeksploitasi dialog dengan baik demi perkembangan cerita.
"'Kelak, entah berapa tahun lagi, aku akan berkunjung kembali ke kota ini. Dan kau pasti sudah berkeluarga.'
'Kau juga akan menikah dengan wanita lain.'
(hlm. 28)
Dalam "Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis", hal "fantastik dalam cerpen ini justru dikisahkan dengan undertone yang cenderung dingin dan datar, bahkan sesekali disusupi perdebatan ilmiah segala", begitu menurut Tia Setiadi (hlm. 9-10). Oleh karena itu, alur mencapai puncak nyaris tanpa terasa, karena sang narator menceritakan dengan gaya se-"cool" mungkin, tak turut terseret dalam arus cerita. Ia mengajak pembaca bertanya-tanya tentang keajaiban rembulan yang menangis sembari terus menjawabnya tanpa kehilangan ruh sureal. Contohnya adalah ketika ia menceritakan tentang asal-usul air mata rembulan yang jatuh di Carrow Road.
"Barangkali prosesnya lain, rembulan itu langsung menceburkan diri ke lautan, menyerapnya seperti spons, lalu melompat ke langit, dan langsung meneteskannya, jadi hanya butuh siklus satu hari satu malam." (Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis, hlm. 57)
Namun, elemen surealis yang diusung dengan menyertakan perdebatan ilmiah macam begitu, malah membuat saya skeptis, sehingga susah tercebur dalam dunia fiksi sureal yang sedang diracik oleh Sungging dalam cerpen ini. Untunglah, hal serupa tak terjadi lagi ketika saya membaca "Melankolia Laba-laba", yang merupakan salah satu cerpen favorit saya di kumcer ini. Ini adalah kisah cinta yang menyedihkan, antara binatang dan manusia. Namun, jangan harap akan berakhir seperti The Princess and the Frog, yang mengisahkan bahwa si kodok berubah jadi pangeran. Bahkan si naratornya sendiri, si laba-laba bernama Sarelgaz itu, mengatakan begini:
"... tapi aku tak bermimpi kau menciumku seperti kisah pangeran kodok. Aku tak akan menjelma manusia, ini bukan cerita surealis." (Melankolia Laba-laba, hlm. 41)
[tapi belakangan Sungging membuat kisah ini jadi surealis, dengan berubahnya Nalea menjadi laba-laba]
Sarelgaz sudah bertahun-tahun tinggal di dalam kamar Nalea, gadis yang dicintainya itu, hingga generasi laba-laba lain berganti satu per satu. Kala ia telah menjadi laba-laba tua, Nalea tiba-tiba menghilang. Raibnya gadis itu dibarengi dengan munculnya seekor laba-laba perempuan yang sebelumnya tak pernah ada di kamar itu. Laba-laba baru itu mengaku bernama Nalea, yang meninggalkan jasad manusianya untuk bertemu cinta sejatinya, yaitu Sarelgaz. Namun, naas, Sarelgaz tak percaya dan mengusirnya ke luar kamar. Sarelgaz hanya mencintai seorang gadis bernama Nalea, bukan laba-laba bernama sama.
"Dari cara berjalannya, ia seperti laba-laba betina yang bekerja sebagai model majalah laba-laba dewasa." (Melankolia Laba-laba, hlm. 46)
[di dunia laba-laba ada juga majalah dewasa, to? :)] ]

Ada dua ironi raksasa yang mendominasi cerita ini. Pertama, Sarelgaz mencintai Nalea, padahal secara tak langsung, gadis itulah yang menyebabkan orang tua Sarelgaz meninggal setelah aktivitas bersih-bersih kamar bersenjatakan sapu. Kedua, saat Sarelgaz tak memercayai laba-laba bernama Nalea, dan malah mengusirnya. Padahal, berubahnya Nalea jadi laba-laba secara tak langsung berkat doa Sarelgaz.
"Aku tak tahu apa yang biasa kau ucapkan dalam doamu, sementara doaku jelas, agar aku bisa tetap menemukan cara untuk mencintaimu." (Melankolia Laba-laba, hlm. 45)
Namun, Sarelgaz belakangan bertindak seperti manusia tak tahu diri, yang seringkali tak bersyukur dan malah mengutuk Sang Pemberi setelah doanya dikabulkan. Kesetiaan yang terlalu dalam membutakan Sarelgaz, hingga ia gagal menyadari, bahwa si laba-laba itu adalah benar-benar Nalea. Kisah cinta tak sampai antara binatang dan manusia mungkin akan berisiko menjadi klise, tapi Sungging dengan cukup gemilang menghindarinya. Lagi-lagi, Sungging mempermainkan kesadaran pembaca dengan menyelipkan "pembocoran" di tengah nuansa sureal yang terbangun.
"'Bagaimana kau bisa tahu namaku? Apakah penulis cerita ini yang memberi tahu?"' (Melankolia Laba-laba, hlm. 45)
"Melankolia Laba-laba" adalah cerpen pertama dalam kumcer ini yang mewedar fenomena transformasi manusia menjadi alam (maupun sebaliknya) demi mengalami cinta. Hal serupa menjadi napas cerpen "Rayuan Sungai Serayu", tapi kali ini alamlah yang berubah menjadi manusia. Dikisahkan bahwa Sungai Serayu yang sudah lelah menjadi sungai tiba-tiba menjelma seorang perempuan, kemudian berkasih-kasihan dengan seorang lelaki kesepian yang ditemuinya di Warung Hujan Bulan Juni (namanya sama dengan judul kumpulan puisi SDD :)] ). Uniknya, dalam cerpen ini Sungging menebar beberapa istilah ilmiah (cukup wajar, mengingat Sungging pernah berkuliah di Jurusan Matematika. Saya percaya bahwa apa yang ditulis oleh penulis sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan kehidupan pribadi si penulis #tsah). Contohnya, penggunaan istilah "koefisien kesepian" dan "Termometer Kesunyian" (hlm. 84).

Sementara itu, alam kembali bertransformasi menjadi manusia dalam cerpen "Sihir Edelweis". Seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang mengaku sebagai edelweis di Bromo.
"'Aku benar-benar perempuan edelweis, aku terbentuk dari serbuknya yang putih, dari kabut yang turun di malam hari, dan dari garis merah pertama ketika matahari merancang pagi.'" (Sihir Edelweis, hlm. 117)
Ia membawa edelweis itu pulang. Dan meskipun sudah beristri, ia jatuh cinta pada perempuan edelweis. Sampai si lelaki dan istrinya menua, bunga edelweis itu tak layu juga, "malah sepertinya bertambah lebat". Bertambah lebat karena perempuan edelweis melahirkan anak-anak edelweis--anak mereka berdua. Dalam cerpen ini, Sungging menyelipkan elemen setting yang detail: "di ketinggian 2770 meter"; "saat itu masih pukul 04.04" (hlm. 113). Ada satu kalimat yang masih kurang bisa saya pahami kekohesifannya dalam paragraf:
"Semua memang serba gelap sehingga belum butuh penjelasan lebih lengkap." (Sihir Edelweis, hlm. 113)
Tiga kisah transformasi manusia ke bentuk lain dan sebaliknya ini memberi pengharapan bagi pembaca akan kemungkinan terjadinya "rekonsiliasi yang segar antara manusia dan alam" (hlm. 19).

Cerpen lain yang menarik adalah "Suatu Hari, Semua Wanita Akan Berwarna Ungu". Cerpen sureal ini mengisahkan tentang fenomena aneh yang tiba-tiba terjadi pada semua wanita di sebuah desa: seluruh permukaan tubuh mereka berubah warna jadi ungu. Hal ini menyebabkan semua wanita menjadi minder dan mogok beraktivitas. Mereka hanya mengurung diri di dalam kamar, termasuk Manisha. Anehnya, warna kulit Manisha berubah seperti sedia kala setelah ia menerima penghiburan dari suaminya yang sangat menyentuh hatinya. Setelah itu, Manisha bersedia keluar dari kamar dan mulai beraktivitas seperti biasa. Saya menemukan sebuah ironi di sini. Sang suami menghibur Manisha dengan kata-kata manis yang terdengar tulus, padahal sebelumnya ia sempat bernarasi begini:
"Mereka beranggapan ini hanya solusi sementara, tidak jangka panjang, apalagi kita tahu bahwa sering kali kita diberi bantuan sesuatu yang sifatnya hanya sementara, untuk menghibur saja, tidak mengubah apa-apa." (Suatu Hari, Semua Wanita Akan Berwarna Ungu, hlm. 133-34)
[jadi ingat penghiburan pemerintah kepada masyarakat kurang mampu yang sering dibagikan dulu: BLT]

Cerpen ini menggambarkan dengan sangat baik bagaimana cara pikir wanita dan laki-laki pada umumnya. Wanita (walau tak semuanya) sering atau mudah merasa insecure akan penampilannya. Sementara itu, laki-laki akan sungguh-sungguh melakukan sesuatu untuk wanitanya, jika ia mendapatkan keuntungan dari hal itu. Contohnya, dalam cerpen ini, karena Manisha mengurung diri dalam kamar dan tidak memasak, si "aku"--suaminya--kelaparan ("padahal aku lapar, belum sarapan"--hlm. 132). Nah, karena itulah, si "aku" berusaha menghibur istrinya. Akhirnya, Manisha mau keluar dari kamar dan berkata tepat sesuai keinginan si "aku":
"'Terima kasih, ya,' katanya, 'oh, apa kau lapar? Aku akan buat menu pecel garahan, pecel kesukaanmu.'" (hlm. 136)
Mungkin cerpen ini juga hendak memaparkan kekuatan kata-kata penuh penghargaan yang kita ucapkan pada orang lain. Bisa memulihkan mereka dari keterpurukannya, atau malah membuatnya makin terpuruk. Selain itu, ada petikan dalam cerpen ini:
"Padahal aku masih ingat, tokoh aktivis inilah yang dulu berkata bahwa bukan rok pendek itu yang menjadi biang masalah pelecehan seksual, tapi pikiran negatif si lelaki saja." (hlm. 134)
yang mengingatkan saya akan suatu momen di tahun 2011-2012, di mana kontroversi "rok mini penyebab perkosaan?" sempat mencuat jadi isu nasional.

Cerpen "Kompor Kenangan" juga tak kalah menarik. Dengan uniknya, sebuah kompor gas dijadikan simbol cinta. Setelah bercerai, Nalea membawa pergi kompor itu (cintanya) dari sang suami, dan memberikannya secara cuma-cuma ke sebuah tokoh, karena ia sudah punya kompor baru (cinta baru untuk calon suami baru).
"Ah, kompor adalah benda yang tenang, mengeluarkan api tapi tak membakar dirinya sendiri, melawan filosofi lilin, romantis sekali." (Kompor Kenangan, hlm. 125)
Bicara tentang para tokoh, yang tak hanya manusia, tapi juga binatang, sungai, bunga, semut, rangka, dan lain-lain, Sungging memiliki tendensi untuk menggunakan beberapa nama yang statis. Seperti Seno Gumira dengan tokoh Alina dan Sukab (misalnya dalam kumcer "Penembak Misterius"), Sungging gemar menggunakan nama tokoh ini, antara lain Nalea, Salem, dan Manisha. Suatu saat, Nalea adalah gadis penjual toffee di Craven Cottage. Suatu saat, ia berubah menjadi serangkaian rangka, lalu menjadi seorang istri yang setelah bercerai ngotot membawa kompor gas buatan Jerman, lantas berubah menjadi gadis dalam kereta yang bertemu dengan Salem.

Saya cukup yakin, para pembaca resensi ini sudah bisa menebak bahwa tema utama cerpen-cerpen dalam kumcer ini adalah cinta--lebih tepatnya percintaan antara laki-laki dan perempuan. Meski kisah cinta pada umumnya sulit dipisahkan dari kesan klise, dalam kumcer ini Sungging telah berhasil meramu kisah cinta yang memiliki keunikan dan daya kejut, serta keindahan tersendiri.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets