21 April 2016

[Resensi HARMONI] Bak Semangkuk Patbingsu





Judul: Harmoni
Penulis: Heruka
Editor: Diara Oso
Penerbit: de TEENS
Cetakan: I, April 2016
Tebal: 240 halaman
ISBN: 978-602-296-199-4
Harga: Rp 45.000,00

Paras dan Rafal adalah teman kuliah di jurusan Arsitektur. Meski begitu, hubungan mereka hanya sejauh teman sekelas yang saling mengenal nama. Sekali ini, mereka satu kelompok dalam mengerjakan sebuah tugas. Baru sekali saja satu kelompok dengan Rafal, Paras sudah dibikin dongkol berkat kata-kata lelaki itu, setelah Rafal tahu bahwa Paras adalah seorang novelis teenlit.

“Aku nggak suka teenlit. Dan nggak minat.” (hlm. 18)

Kemudian, Rafal menyerang Paras dengan menanyainya seputar sastrawan klasik dunia, yang Paras sama sekali tak tahu.

“Sia-sia sekali aku membaca novel, yang bahkan penulisnya pun nggak tahu karya-karya hebat dari penulis dunia.” (hlm. 21)

Rafal, yang diam-diam juga suka menulis fiksi selain resensi yang ia pajang di blog bukunya, ternyata lolos seleksi untuk menjadi peserta Writing Clinic, bersama Rana (di hlm. 169 namanya berubah jadi Rena. Kenapa, ya? Wkwk), salah satu teman dari komunitas pecinta buku. Sialnya, pemateri sesi terakhir, tentang penulisan novel, yang seharusnya tak bisa hadir. Dan, tahu nggak, siapa yang menjadi penggantinya? Yaps, Paras! Rafal telah gagal kabur, malah tertangkap basah oleh Paras. Dalam sesi tanya jawab, Rafal menyerang Paras tentang idealisme versus realitas menjadi penulis. Penyerangan kali ini lebih keras dan pastinya lebih memalukan bagi Paras, karena dilihat oleh orang banyak. 

Terlepas dari adu prinsip kedua orang tersebut, masing-masing memiliki masalah sendiri. Sejak editornya bukan lagi Mas Ellan, Paras jadi bermalas-malasan (awalnya). Editor yang baru, Mbak Prita, menuntut agar novel ketiganya ini jadi the breathtaking one. Revisi lagi, revisi lagi, revisi... Sebenarnya, Paras tak rela editornya diganti, karena ia akan jadi jarang bertemu dengan Mas Ellan, lelaki yang ia sukai itu. Akhirnya, ia membuat persepakatan dengan Mas Ellan, yang berbahaya jika diketahui oleh Mbak Prita. Sementara itu, Paras jadi patah hati sebelum mengutarakan perasaannya, mana kala beberapa kali ia melihat Mas Ellan nongkrong dengan seorang cewek yang tak ia kenal. Belum lagi, masalahnya dengan Irene akibat Firli (atau Firly? Namanya berubah jadi Firly di hlm. 225).

Setelah Dad dan Mom bercerai, Rafal tak pernah tahu alasan utamanya, karena sebelumnya mereka berdua terlihat baik-baik saja. Oleh karena itu, pada liburan semester, Rafal diam-diam pergi ke Polandia untuk membujuk Mom agar mau kembali bersama Dad. Namun, di sanalah, ia menemukan kenyataan pahit yang selama ini disembunyikan, tak hanya oleh Dad dan Mom, tapi juga oleh nenek dan kakeknya. Dalam liburan itu, Rafal juga berencana menemui Venus, gadis yang selama ini ada di hatinya, untuk menanyakan kejelasan status hubungan mereka.

Bagaimana nasib novel ketiga Paras? Bagaimana hubungannya dengan Mas Ellan, Irene, dan Rafal? Sementara itu, apakah Rafal akan mendapat kepastian dari Venus?

Nyastra VS Pop?

Konflik yang awalnya diperkenalkan oleh penulis sungguh menarik, tentang dua orang yang berseberangan prinsip, dan saling membenci (awalnya). Bagi saya, hal ini menarik karena pertama, isu tentang nyastra versus pop selalu menimbulkan perdebatan dan pembahasan yang tak kunjung selesai. Di mana letak perbedaan antara karya nyastra dan pop? Saya kira bukan dari permukaannya (gaya bahasa, misalnya). Jika sebuah prosa ditulis dengan gaya bahasa njelimet dengan metafora berbelit-belit nan rumit dibayangkan, belum tentu ia pasti termasuk karya yang nyastra. Pun sebaliknya, bila prosa macam Cantik Itu Luka, yang ditulis dengan bahasa lugas, belum tentu ia adalah karya pop. Oleh sebab itu, saya kurang setuju dengan esai yang ditulis oleh Mbak Marliana di BasaBasi, Sastra untuk Siapa. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Mas W.N. Rahman.

Demi pemahaman saya sendiri, saya merasa lebih pas jika pembedaan nyastra dan pop itu didasarkan pada seberapa dalam tema dan konflik yang dibangunnya. Nah, “seberapa mendalam” ini juga tentunya menimbulkan masalah lagi, karena tiap pembaca punya standar sendiri dalam menilainya. Maka, seperti halnya masalah selera, sebaiknya hal semacam ini tak usah diperdebatkan.

Awalnya, saya menemukan kemiripan dengan Rafal. Kami sama-sama pembaca karya nyastra yang lahap, meski saya tak punya perpustakaan semenakjubkan punya Daddy-nya (meski saya lebih banyak membaca karya nyastra domestik daripada luar negeri). Kami juga sama-sama blogger buku. Herannya, mengapa Rafal menyebut blog-nya BBI? Apa BBI yang dimaksud BloggerBuku Indonesia? Kalau iya, BBI yang itu kan komunitas, bukan nama blog personal.

“Kata Ivy, kamu punya blog, ya?”

“Iya, BBI. Tahu kan?”

“Aku cuma membahas buku di blogku.” (hlm. 17)

Seharusnya, Rafal menjawab, “Iya, aku anggota BBI.” Nah, begitu lebih pas!

Rafal baru beberapa kali membaca novel pop dan langsung mengecapnya lebih rendah daripada karya nyastra, sedangkan teenlit dan metropop adalah dua jenis novel yang dulu saya gemari waktu remaja. Sekarang, saya pasti lebih memilih membaca karya-karya Eka Kurniawan, Pram, SGA, Ayu Utami, Arafat Nur, Murakami, Anton Chekov, Ryunosuke Akutagawa,.... daripada teenlit atau metropop terbaru. Namun, saya tetap membaca karya pop karena saya adalah extrovert reader yang selalu ingin membaca buku dari sebanyak mungkin genre, dan karena saya setuju akan pendapat Paras, bahwa nyastra dan pop tak seharusnya dibanding-bandingkan.

Bedanya lagi, ketika meresensi, yang saya nilai adalah tulisan yang saya baca, bukan penulisnya. Oleh karena itu, saya kemudian jadi sebal terhadap Rafal, karena ia adalah contoh pembaca yang tidak bijak. Tak puas menyudutkan karya pop, ia juga turut mencibir penulisnya. Pembelaan Paras tak salah, “Hah, kamu pikir kamu siapa? Penulis hebat? Kritikus andal? Cuma tukang baca doang! Cih!” (hlm. 22). Mungkin kalau tokoh Ellie dan Julie (di novel Dear Ellie) mengenal Rafal, pasti mereka akan menyemprotnya habis-habisan.

Anehnya, prinsip Rafal yang sangat kuat dan teguh itu bisa kendor dengan mudah dan terlalu cepat, hanya karena ia menyesal telah mempermalukan Paras di Writing Clinic. Writing Clinic itu pun, yang menjadi titik balik perubahan prinsip kedua tokoh utama, diceritakan hanya saat sesi ketiga, dan hanya berisi monolog Paras sebagai pembicara, serta tanya-jawabnya dengan Rafal. Seolah ruangan itu hanya berisi mereka berdua. 

Anehnya lagi, seorang penulis yang salah satu novelnya bestseller seperti Paras, sama sekali belum pernah mendengar nama Oscar Wilde, Hemingway, dan Murakami. Mungkinkah ada penulis yang belum pernah dengar nama Hemingway? Padahal Paras juga pembaca novel-novel impor, lho, macam karya Jodi Picoult dan Rick Riordan. Lebih aneh lagi, sebelum tahu bahwa Rafal tak suka teenlit, Paras kok sudah seperti terintimidasi, ya?

“Apa jenis buku yang kamu tulis?”

“Umm... masih teenlit, sih.” (hlm. 17)

Jawaban Paras (cermati penggunaan kata “masih”) atas pertanyaan Rafal tersebut mengesankan kalau Paras juga menganggap rendah teenlit. 

Setelah peristiwa Writing Clinic, Paras berminat untuk membaca karya nyastra, dan mencoba menulis novel nyastra biar bisa bertemu Mas Ellan lebih sering (karena blio dipindahkan ke genre sastra). Isu menarik seputar nyastra versus pop ini punah dengan sendirinya (ucapkan selamat tinggal pada perpustakaan keren milik Dad dan judul-judul buku sastra dan nama penulis kenamaan dunia yang disebar penulis di separuh awal novel) dan digantikan oleh romance. Yah, memang dari awal ini akan jadi novel romance, dengan bumbu nyastra versus pop, bukan sebaliknya.

Cinta Bersegi-segi 

Mungkin dari awal pembaca akan menebak bahwa alur novel ini akan klise: dua orang yang saling membenci lalu saling jatuh cinta dan berakhir bahagia. Nyatanya, tidak seklise itu. Paras memendam rasa suka terhadap Mas Ellan. Sementara itu, Mas Ellan sepertinya sedang dekat dengan gadis lain. Firli (atau Firly?), mantan pacar Paras, berusaha mengejarnya lagi, dengan cara busuk (padahal saat itu Firli sedang mendekati Irene, teman kos sekaligus sahabat Paras). Kisah Paras-Firli-Irene ini menimbulkan persahabatan Paras-Irene rusak. Namun, sayangnya, konflik ini tidak terselesaikan dengan baik. Irene memang kemudian menyesal, tapi bagaimana dengan Firli?

Rafal menantikan kepastian dari Venus. Sebelumnya, sebuah adegan membuat saya mengira Venus telah memiliki lelaki lain di Vienna. Ternyata, di akhir, Venus mengungkapkan kenyataan bahwa ia adalah seorang.... (udah nggak tahan pengin bilang, tapi saya takut spoiler). Sungguh, kejutan macam ini tidak mengejutkan pembaca dengan cara yang menyenangkan. Kok tiba-tiba Venus begitu? Saya malah sedih karena rasanya kaum seperti Venus di dunia nyata hanya dimanfaatkan penulis agar alur cerita novelnya agak tak tertebak.

Lalu, Rafal dan Paras bagaimana? Kisah mereka juga berakhir tidak jelas, meski harmoni telah tercipta antara paradigma mereka soal nyastra versus pop. Meski begitu, saya rasa keputusan Rafal berkaitan dengan cinta Paras itu bijak, karena ia sendiri baru saja patah hati oleh Venus. 

Bak Semangkuk Patbingsu 

Saya setuju dengan gugatan yang ditulis oleh Wardah di resensinya, bahwa novel ini kebanyakan konflik, dan jumlah halamannya yang hanya 240 itu tak sanggup menampungnya dengan baik. Masalah Paras-Firli-Irene, masalah Rafal dan ibunya, masalah Rafal dan Dad, masalah Paras dan Mas Ellan terkait persepakatan rahasia mereka yang ketahuan oleh Mbak Prita... Bagaimana kelanjutan novel ketiga dan keempat Paras? Seingat saya, tentang masalah Paras-Mas Ellan-Mbak Prita, penulis juga tidak melanjutkan penyelesaiannya. Siapa yang sebenarnya mengirimkan file bab dua novel keempat Paras ke Mas Ellan?
“..., ya ada satu nama yang mungkin melakukannya. Cuma dia satu-satunya paling masuk dalam kemungkinan. Tapi, untuk apa?” (hlm. 158)

Dia siapa? Saya sempat curiga kalau itu Irene, tapi penulis tak mengungkitnya lagi sama sekali! Dari sini, saya mendapat kesan bahwa penulis sangat tak bertanggung jawab. Ia membikin banyak konflik bersaling-silang, tapi tak menyelesaikannya dengan baik. Bahkan terkesan mengabaikan (atau bahkan lupa?) untuk menyelesaikan beberapa di antaranya. Oleh karena itu, saya mengumpamakan novel ini dengan semangkuk patbingsu yang waktu itu saya makan setelah menyantap dak galbi dan rappoki.
Berbagai macam buah, kacang merah, dan es krim memenuhi mangkuk. Terlihat enak dan indah dipandang. Mangkuk patbingsu itu penuh sesak dengan aneka isian, yang awalnya terasa enak dan segar di mulut. Tapi karena terlalu banyak (dan mungkin juga karena saya terlalu kenyang), rasanya berubah jadi enek dan saya tak sanggup menghabiskan.
***
Ada beberapa typo dalam novel ini, yang saya rasa tak perlu dibahas lebih jauh, karena saya rasa masalah typo tak lebih penting ketimbang masalah-masalah yang telah saya utarakan di atas. Beberapa di antaranya adalah kata revision (hlm. 82), kalimat "Tentang perbedaan pendapatnya dengan Rana" (hlm. 115, yang seharusnya "dengan Paras"), kalimat “Tak terasa, setengah pun berlalu” (hlm. 231, setengah apa?)

Novel ini memberi harapan optimis kepada para pembaca, bahwa dunia literasi Indonesia akan terus berdenyut dan berkembang jika ada anak-anak muda macam Rafal dan Paras (dan saya =D7). Melalui gaya hidup Dad dan Rafal, kita dihadapkan pada utopia saat membaca jadi semacam rasa haus di tenggorokan tiap orang. Melalui Paras, kita melihat cerminan penulis muda yang tak henti belajar dan berkarya. Terakhir, secuil curhatan penulisnya bisa dibaca di sini.

Dua setengah bintang untuk harmoni antara nyastra dan pop yang dijalin setengah hati.

“Memang sih, idealis itu harus, tapi bergaul juga perlu. Dan caranya, ya, menyisakan separuh diri kita untuk diisi apa yang kita tak sukai.” (Paras, hlm. 129)

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets