24 January 2017

Meresensi Novel Sendiri (Bagian 2)



Bulan Oktober 2016 barangkali menjadi bulan yang paling penuh aktivitas membaca buku selama saya tinggal di Desa Bandar Dalam, di pelosok Pesisir Barat Lampung, dekat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (dalam rangka menjadi fasilitator masyarakat untuk pemanfaatan infrastruktur PLTS). Buku-buku yang saya bawa ke desa sudah habis saya lahap, kecuali The Révèter. Entah, waktu itu kenapa saya membawa buku itu ke desa, mungkin berharap bisa memberikannya ke seorang anak yang punya minat baca relatif tinggi dibandingkan teman-temannya, atau berharap bisa meletakkannya di rak perpustakaan sekolah setempat. Melihat-lihat tumpukan buku, saya iseng mengambil The Révèter (satu-satunya eksemplar yang saya punya) dan mulai membacanya. (Pengalaman mengajarkan saya bahwa ide-ide iseng yang tidak mengganggu orang lain, yang muncul dalam benak kita, sebaiknya diladeni. Siapa tahu, hal-hal iseng itu berbuah sesuatu yang manis. Agak masam pun boleh, deh.)

Saya takjub pada diri saya sendiri: bagaimana bisa, saat membaca The Révèter kali itu, saya merasa benar-benar sebagai pembaca (yang mungkin tidak kenal penulisnya). Kok bisa, ya?

Merumuskan Kembali The Révèter dalam Satu Paragraf

Di suatu malam Natal, Hydra bermimpi berada di sebuah hutan pinus. Begitu bangun, anehnya, ada strobilus sungguhan di dalam kaus kaki Natalnya. Mimpi anehnya itu disusul kejadian yang lebih aneh lagi: kakek-neneknya menghilang setelah memberikan kado Natal padanya dan Oxy, adiknya. Di mimpi berikutnya, dia bertemu Radon. Di dunia nyata, sepulang sekolah, Hydra diculik oleh sepasang kakak-beradik, yang ternyata Radon dan kakaknya, Calsina. Identitas Hydra sebagai remaja biasa tersungkur saat Radon dan Calsina membeberkan bahwa ia juga Révèter seperti mereka. Bukan Révèter biasa malah, melainkan keturunan ke-2562 leluhur Révèter, yang mewarisi kalung Convoera—kalung yang ada di dalam kotak kado Natal terakhir dari kakek-neneknya. Bersama Radon dan Calsina, dimulailah petualangan Hydra menemukan pemilik pasangan kalung Convoera-nya. Berdua, pemilik kalung Convoera tersebut memegang kunci perdamaian antara pengikut Auri dan Argento, leluhur para Révèter. Petualangan tersebut tidaklah mudah, ada pihak-pihak yang selalu berusaha menyabotase usaha mereka.

Merekonstruksi Alur The Révèter

Alur kisah novel ini bercabang dua: alur progresif mengikuti langkah yang diambil Hydra sembari menceritakan masa lalu. Masa lalu Auri dan Argento, yang kemudian menjadi legenda asal-mula terjadinya permusuhan antara para pengikuti dari kedua leluhur tersebut, mewujud dalam bentuk cerita yang termaktub dalam Kitab Révènian—Segala Sesuatu tentang Révèter Ada di Sini, serta dalam adegan pertarungan duel mereka di hutan pinus dalam dunia mimpi. Masa lalu kakek-nenek Hydra diceritakan melalui catatan-catatan dalam buku harian sang Kakek, yang ditemukan dan dibaca oleh Oxy.

Mungkin ada beberapa hal yang sebenarnya membutuhkan penjelasan lebih lanjut, tapi ketebalan novel ini tidak mampu menampung semua. Akan lebih menarik jika ada side story tentang peristiwa pembasmian Révèter pada tahun 1998 (eh, jadi ingat peristiwa penggulingan rezim Orde Baru), karena peristiwa itu berdampak pada “pembentukan” identitas para Révèter seangkatan Hydra, termasuk bagi Radon dan Calsina juga. Kepingan cerita lain yang layak mendapat porsi lebih banyak dan di-tunjuk-kan, bukan diceritakan, adalah tentang leluhur Révèter, Auri dan Argento. Begitu juga dengan kisah para pengikut kedua belah pihak yang senantiasa bermusuhan setelahnya (kisah-kisah “kejahatan” yang dilakukan para pengikut Argento di dalam mimpi itu menarik).

Tempo alur yang cepat membikin pembaca tidak bosan. Penulis berusaha membuat pembacanya penasaran dengan membuka sedikit demi sedikit petunjuk teka-teki, seperti misalnya siapa sebenarnya “utusan” Andrew Lee dan siapa yang menjadi mata-matanya.

Yang saya bingung, Hydra dan Zinco bisa berkomunikasi lewat kalung Convoera, tapi kenapa mereka tidak membikin janji ketemu saja lewat kalung itu, daripada susah-susah bertemu di dunia mimpi? Selain itu, saya juga bertanya-tanya, dari mana Zinco bisa tahu nama Hydra, karena—kalau tidak salah—tidak ada penjelasan, tiba-tiba Zinco memanggil Hydra dengan namanya, padahal mereka belum saling mengenal secara langsung sebelumnya.

Romance antara Hydra dan Radon terkesan terjadi terlalu cepat dan dipaksakan. Yah, maklum, karena penulis memang awalnya tidak menyertakan bumbu romance, tapi lalu menyempilkan sedikit di antara bab-bab cerita.

Tokoh-tokoh yang Menyesaki Kisah

Mungkin karena alur cerita bertempo cepat (bisa dibilang, penulis terlalu fokus pada alur—bikin alur dulu, baru comot tokoh belakangan), tokoh-tokoh di dalam novel ini jadi kurang dieksplorasi kepribadiannya. Atau mungkin juga karena terlalu banyak tokoh yang cukup penting, sehingga jadi terlalu gemuk dan kompleks untuk novel setebal hanya 236 halaman.

Bisa dibilang, tokoh utamanya adalah Hydra. Hidupnya berubah setelah mimpi-mimpi aneh mengunjunginya. Hydra adalah sosok yang cerdas, terlihat dari bagaimana ia menebak kado Natal Oxy, memecahkan cara membuka buku Kitab Révènian. Dia juga dikatakan gemar baca buku. Oxy, adik Hydra, adalah sosok yang ceria, aktif, dan dinamis, terlihat dari, antara lain, caranya membangunkan Hydra dan kegemarannya bersepatu roda. Setelah Hydra, Oxy, dan kakek-nenek mereka, kita diperkenalkan pada tokoh Zinco, pemilik pasangan kalung Convoera Hydra. Remaja laki-laki itu suka pelajaran Fisika, tapi tidak suka pelajaran Sejarah, tapi anehnya bisa menjawab dengan benar pertanyaan guru Sejarahnya meski ia ketiduran di kelas.

Seiring peristiwa “penculikan” Hydra, kita diperkenalkan pada sosok Radon dan Calsina. Kakak-beradik itu adalah Révèter senior, yang memprakarsai “pencarian” para Révèter muda melalui mimpi. Terlebih, Radon punya kemampuan istimewa: bisa membaca pikiran orang lain. Kemampuan ini kadang membuatnya kesal, karena membuatnya seperti berbicara sendiri (ia berbicara untuk menyahuti pikiran orang). Radon juga sosok yang cerdas, bisa dilihat dari idenya untuk menanam Nicelia steeli. Sementara itu, Calsina terkesan sebagai sosok perempuan dewasa yang ramah dan hangat.

Tokoh-tokoh lain yang muncul sedikit-sedikit adalah Mary (sahabat Hydra), Tory (si maniak sejarah yang berperan menyadarkan Zinco bahwa dia Révèter dan pemilik kalung Convoera), Leony (kemunculannya yang sebentar hanya untuk menciptakan drama percintaan Hydra-Radon-Leony), Baldy dan Kanno (para Révèter, teman-teman Radon dan Calsina, tapi muncul sebentar sekali dan nyaris tidak berperan dalam cerita). Tidak seperti Leony, Baldy, apalagi Kanno (yang pasti akan terlewatkan begitu saja oleh pembaca karena namanya—kalau tidak salah—hanya disebut dua kali di dalam cerita dan tidak berperan aktif sama sekali), Silvana muncul cukup sering di bagian tengah sampai akhir, karena ia ikut pergi ke Vainsalle untuk menyelamatkan Hydra dan Zinco. Silvana ini istimewa karena highlight di poninya bisa berubah warna sesuai emosinya. Jadi teringat tokoh di buku Harry Potter, Tonks. Sementara itu, Daniel, Révèter juga, berperan cukup penting di dalam cerita, sebagai salah satu orang yang dipercaya Radon, juga ikut ke Vainsalle. Tokoh lain adalah Andrew Lee, si antagonis dan ayah Radon-Calsina. Kedua orang ini memegang peran penting dalam penciptaan konflik cerita.

Lain-lain

Kisah ini diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Gaya bahasanya baku dan kadang menggunakan istilah bahasa Inggris (padahal sebenarnya bisa pakai bahasa Indonesia saja untuk istilah-istilah tersebut). Latar tempat di dunia nyata adalah di negara Barat yang memiliki empat musim, tapi di sebelah mana kurang jelas. Mungkin penulis berpendapat bahwa identitas kota latar cerita tidaklah penting.

Kesimpulan

Elemen-elemen fantasi bercampur jadi satu: dunia mimpi, sihir kuno, Vainsalle, free-season area, dan banyak lagi, dicampur lagi dengan dunia nyata sehari-hari seperti kegiatan sekolah, menjadikan novel ini cukup unik. Terlepas dari semua kelemahannya, novel ini telah menambah jumlah novel fantasi karya penulis domestik (meski setting-nya di Barat dan tokoh-tokohnya juga orang Barat, dan belum bisa melepaskan ketergantungannya akan fantasi a la Barat), dan menjadi teman yang menyenangkan kala butuh kabur sejenak dari dunia nyata.

Identitas Buku

Judul        : The Révèter
Penulis     : Frida Kurniawati
Editor       : Elizabeth
Tebal        : 236 halaman
Penerbit    : Elf Books
Cetak        : I, Mei 2013
ISBN        : 978-602-19335-9-6
Harga        : Rp 40.000,00

2 comments:

  1. Apakah akan ada kelanjutan dari The Reveter?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum tahu, Arfina. Ingin saya adakan, sih, tapi lagi-lagi, masih "malas" LOL

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets