25 May 2015

[Resensi 4 MUSIM CINTA] 4 Musim Bersinggungan dalam Negeri 2 Musim

Judul: 4 Musim Cinta
Penulis: Mandewi | Gafur | Puguh | Pringadi
Editor: Endah Sulwesi
Tebal: 332 halaman
Penerbit: Exchange
Cetakan: I, April 2015
ISBN: 978-602-72024-2-9
Harga: Rp 59.500,00
Rating saya: 4/5

"Kamu tahu, seperti apa rupa harapan itu?"
"Tidak."
"Aku tahu."
"Seperti apa?"
"Seperti kamu." 
(Arga dan Gayatri, hal. 9)
Gayatri, Arga, Pring, dan Gafur adalah empat orang birokrat muda yang bekerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan di bawah Kementrian Keuangan. Mereka berempat sama-sama suka menulis dan dipertemukan oleh suatu acara di Imah Seniman saat mereka menjadi finalis lomba menulis yang diadakan oleh organisasi mereka. Sebelumnya, Gayatri dan Pring saling mengenal lewat Facebook lantaran mereka berdua tergabung dalam satu grup kepenulisan. Sementara yang lainnya, mereka saling bertemu karena pekerjaan. Seperti kata , bekerja di organisasi itu memungkinkan semua pegawai saling bertemu meski tak bertugas di satu kota yang sama, karena mutasi yang dilakukan selalu meloncat-loncat.

Memiliki satu pekerjaan yang sama membuat mereka cepat akrab. Pertemuan pertama lekas saja menjelma satu persahabatan. Meski setelah itu Gafur dimutasikan ke Kendari, dan Pring kembali ke Sumbawa Besar, sementara Gayatri dan Arga di Jakarta, persahabatan mereka tetap terjalin. Namun, bukan persahabatan sejati namanya, jika tak ada pahit yang menguji. Cinta segitiga mewujud di tengah-tengah mereka. Arga, Gafur, dan Dira--seorang gadis barista di sebuah kedai kopi. Gayatri, Pring, dan istrinya, Indah. Rahasia-rahasia perlahan terungkap. Siapkah mereka menyambutnya?

***

Jangan berharap pada rasa penasaran

Jika hanya mengandalkan kemampuan mencabik-cabik rasa penasaran pembaca, maka novel ini telah berhasil. Bahkan, ia mencabiknya hingga tak bersisa, alias saya tak punya rasa penasaran lagi. Ceritanya terlampau mudah ditebak. Lantas, apa yang membuatnya istimewa?


"Mumpung aku ingat, kelemahan kamu ada di narasi. Tulisan kamu masih terlalu sempit. Maksudku, tulisan kamu masih berkutat di do this then do that alias urutan-urutan kejadian." 
(Pring, hal. 244)
Keempat penulisnya seolah ingin menunjukkan bagaimana itu menulis ditopang kekuatan narasi tanpa terlalu menitikberatkan pada urutan-urutan kejadian, seperti yang dikhotbahkan Pring pada Gayatri. Plot tak lagi menjadi primadona jika kita punya tokoh-tokoh yang kuat, narasi yang indah, dan dialog puitik nan berisi. Apalagi, para penulisnya adalah empat orang pegawai negeri sipil yang bekerja di Perbendaharaan, sesuatu yang cukup jarang terjadi. Istimewanya lagi, empat kepala dan empat pasang tangan yang menulis itu seolah melebur jadi satu dalam 4 Musim Cinta. Tak ada perpindahan kepala dan tangan yang terasa, segalanya mengalir lancar dan seolah alami.

Novel ini ditulis menggunakan empat sudut pandang orang pertama dari keempat tokoh utama, dengan tiap penulis menggawangi tiap tokoh. Menurut analisis saya, bagian Gayatri ditulis oleh Mandewi, Pring adalah Pringadi, Gafur adalah Gafur, dan Arga adalah Puguh. Mungkin mereka juga menyelipkan tentang diri mereka sesungguhnya dalam tiap-tiap tokoh itu. Judul novel ini (yang sama dengan judul kumpulan cerpen terbitan Gagasmedia tahun 2010, Empat Musim Cinta) melambangkan keempat tokohnya beserta lika-liku cinta masing-masing dari mereka. Jika boleh, saya ingin menganalogikan tiap tokoh dengan "musim".

Gayatri, si Musim Dingin

Sumber di sini.

Sumber di sini.
Gayatri, seorang gadis Bali yang digambarkan Pring seperti Yoon Eun Hye dalam serial drama Coffee Prince, tapi dalam versi kulit cokelat.

Ia baru saja ditinggal mati Aji (sebutan "ayah" dalam bahasa Bali). Ia seolah ada untuk menjadi idola para pria di sekitarnya, dengan sikapnya yang menyenangkan, kecerdasan, dan perhatiaannya. Ia merasa diri berbeda dengan gadis-gadis lain seumurannya, yang biasanya sudah menikah dan atau malah sudah punya anak. Kemandirian dan kecerdasan serupa benteng tinggi di sekitarnya, menimbulkan kesan dingin, meski sikapnya cenderung hangat pada semua orang, sehingga tak ada satu pun pria yang berhasil memanjatnya, selain Adam, dan kemudian Pring. Rasa sakit hati akibat ditinggal Adam menikah masih menghantu pikirannya di kala sendirian. Adam pergi, dan kini Gayatri jatuh cinta pada jenis pria yang sama: pria beristri. 

Sederhana saja, ia jatuh cinta pada Pring karena kepuitisannya. Agak polos sebenarnya, karena ia tak tahu bahwa pria itu telah beristri. Tak ada cincin di jari manis Pring, pun tak ada status perkawinan ditampilkan di profil Facebook-nya. Tapi, oh, ya ampun, Gayatri, tidakkah kau punya keberanian untuk sekadar bertanya pada teman-temanmu atau teman-temannya?

Arga, si Musim Semi

Sumber di sini.

Di antara keempat isi kepala para tokoh utama, Argalah yang paling berwarna dan selow. Manusia aneh yang (bisa-bisanya) menyukai kota Jakarta. Dari luar, lelaki Jawa itu nampak selalu ceria, dengan sifatnya yang supel dan "senyum paling lebar di dunia" (Gafur, hal. 215). Ia bagaikan musim semi yang hangat dan berwarna-warni dengan beraneka bunga bermekaran. Namun, tak ada yang tahu bahwa Arga suatu saat akan meledakkan kemarahannya yang terkubur di balik timbunan keceriaan itu seperti musim semi yang masih menyimpan sisa-sisa angin musim dingin. Kegagalannya dalam hubungan dengan wanita telah berhasil ia atasi, sebelum muncul kembali seorang wanita yang membuatnya sakit hati lagi.

Gafur, si Musim Panas

Sumber di sini.

Bagian sudut pandang Gafur kerap membuat pembaca gerah. Gerah karena kevulgarannya yang blak-blakan, tentang hubungannya dengan Dira, juga aktivitas masturbasinya. Di sisi lain, saya menghargai sikap Gafur yang terbuka ini, dibandingkan dengan ketiga tokoh utama lainnya yang cenderung berahasia. Gafur adalah gambaran laki-laki nyata di dunia--adakah laki-laki bujang dewasa yang tak pernah bermasturbasi? Kalau yang diam-diam iya, sih, banyak. Haha. Sikapnya yang apa adanya itu blak-blakan bagaikan panas matahari yang tak sembunyi-sembunyi saat musim panas. 

Pernah sekali, kata-kata Gafur tidak konsisten, ketika ia meminta tolong Pallawa untuk menyampaikan suratnya pada Dira.
"Atau sekiranya kau tak bisa menemui Dira langsung, cari saja Coni atau Riz..., minta tolong kepada mereka untuk mencarikan Dira. Ingat, Pall, ini sangat penting. Surat itu harus sampai langsung dari tanganmu ke tangan Dira. Jangan kau titipkan ke orang lain, apalagi kepada si Coni atau si Riz. Mereka bisa saja membuka dan mencuri baca sebelum diberikan kepada Dira." 
(Gafur, hal. 169-70)

Pring, si Musim Gugur

Sumber di sini.

Pring digambarkan sebagai sang penyair oleh Gayatri, dengan segala keahlian menulisnya, juga dalam meracik kalimat-kalimat gombalan puitis. Terpisah beberapa lama oleh istrinya, Indah, membuat serpihan cintanya mulai melambai-lambai seolah daun yang akan gugur. Belum lagi sikapnya yang paling pendiam di antara yang lain, dan cenderung muram. Sehelai daun cintanya itu pun akhirnya jatuh di pangkuan Gayatri, yang muncul untuk menyadarkannya seberapa besar cintanya pada Indah. Pada suatu titik, Pring memang harus memutuskan, sebelum saya makin muak akan keplin-planannya. Mengapa pula ia tak memakai cincin nikahnya? Seolah ia memang sengaja nampak sebagai seorang bujang di mata wanita lain. Ia sudah tahu yang ia lakukan salah, tapi tetap saja menggombali Gayatri dengan pesan-pesan puitisnya. Memang, sikapnya ini manusiawi sekali.

Sayangnya, kepuitisan Pring hanya sebatas narasi Gayatri dan pesan-pesan yang ia kirimkan pada gadis itu.
"Kenapa kita tidak iri pada hujan, Gayatri? Yang jatuh dan pecah hanya untuk sebuah kerinduan?" 
(Pring, hal. 116)

Dira si Kupu-kupu

Sumber di sini.

Dira, si gadis berpendidikan SMU yang berasal dari kampung. Gadis Sunda itu berkulit cokelat, tidak seperti lazimnya gadis Sunda yang berkulit putih. Itulah awal mula keminderannya. Sikapnya yang percaya diri, menyenangkan, ceria, sekaligus polos (ia takjub sekali melihat kamar hotel mewah tempat Gayatri menginap suatu kali saat ada penugasan), membuatnya cepat akrab dengan Gayatri, juga Gafur dan Arga. Seperti Gayatri, Dira pun jenis gadis yang unik. Tujuan hidupnya begitu sederhana: ingin menjadi kaya raya dan menikmati hidup. Bagi sebagian pembaca, mungkin ia terkesan hedonistis. Tapi, bagi saya, itu sah-sah saja. Siapa manusia yang tak ingin kaya dan tak ingin menikmati hidup? Saya justru kagum akan kepolosannya.

Ia juga gadis yang apatis terhadap pernikahan. Kata-katanya pada halaman 154-156 mengingatkan saya akan kesinisan tokoh Kevin Doyle dalam film 27 Dresses, yang juga membenci pernikahan. Dira menawarkan sudut pandang baru bagi Gafur, yang terlalu memegang aturan yang berlaku, dan mungkin juga kita semua.

"Kenapa setiap orang harus menikah? Cinta hanya perlu cinta, Gafur. Dan saling percaya. Tidak perlu pengumuman. Juga kertas yang distempel... Aku tidak ingin menikah, Gafur... Aku hanya berpikir pernikahan tidak menjamin kebahagiaan." 
(Dira, hal. 155-6)
Oleh karena itulah, saya menyebutnya kupu-kupu, karena keinginannya untuk selalu terbang dan bebas. Dengan santainya, ia terbang di antara musim semi dan musim panas, sambil menebarkan sayap-sayap indahnya. Ia muncul di antara Gafur dan Arga untuk menyadarkan mereka berdua, bahwa persahabatan mereka seharusnya lebih kuat dibandingkan cinta segitiga.

Persahabatan mereka berempat saya rasa belum pantas berada pada level "sahabat" lantaran mereka masih saling berahasia satu sama lain. Terlalu banyak rahasia.

***

Dialog, oh, dialog

Alurnya maju-mundur, cukup mencegah rasa jenuh saya. Kilasan-kilasan memori yang seringkali ditulis sesuka hati tanpa dicetak miring, membuat saya bingung di beberapa tempat, but it's okay. Termaafkan dengan mudah, apalagi didukung absennya typo. Saya tetap bisa menikmati dan memaham jalan cerita.

Salah satu unsur yang membuat novel ini istimewa adalah dialognya, seperti yang saya katakan tadi. Dialog-dialog cerdas ini ditulis bukan sekadar sebagai penebal halaman. Bahkan, seringkali, saya merasa bahwa isi dialog itu lebih penting dibandingkan narasinya. Berikut ini beberapa contohnya, minus dialog Gafur--Dira yang kebanyakan juga cerdas. Anehnya, ada beberapa dialog yang terkesan kekanak-kanakan, mungkin juga karena keterangan ekspresi para tokohnya, hingga tidak cocok berada dalam novel ini.

"Gayatri, aku ingin tahu, kenapa bulan tidak jatuh ke bumi? Apa karena gaya sentrifugal?"
"Kamu tahu jawabannya. Itu kan pelajaran zaman sekolah."
"Lalu, kenapa setiap kita tidak seperti mereka berdua, yang tetap seimbang pada tempatnya? Kenapa masih ada kerusuhan di Ambon, di Palestina, di mana-mana, yang mengatasnamakan agama? Kenapa kita tidak percaya pada gaya sentrifugal itu untuk sebuah toleransi?"
(Gayatri dan Pring, hal. 33)
"Motif, Pring, yang membedakan. Mereka berbuat bukan untuk diri sendiri, tapi untuk semua orang. Itulah sebabnya aku tak menyebut heroisme Mandela sebagai pengabdian. Dia memperjuangkan dirinya. Kelompoknya. Bagaimana jika ia bukan orang kulit hitam?" 
(Gafur, ketika mendiskusikan tentang pengabdian dengan Pring, hal. 79)
Saya paling suka dialog tentang bulan pada bab 5 yang berjudul "Bulan".

Profesi mereka sebagai pegawai negeri sipil cukup tergambarkan oleh dialog Gafur--Dira, seperti pada dialog di hal. 210-213. Selebihnya, hanya sekilas-sekilas saja. Meski begitu, profesi mereka memegang peranan cukup penting dalam cerita. Jika mereka bukan pegawai Dirjen Perbendaharaan, yang memungkinkan para pegawai yang bertugas di kantor-kantor berjauhan bertemu, mungkin mereka berempat juga tak akan bertemu.

Novel ini memberikan kesegaran baru pada dunia novel romance yang seringkali klise dan membosankan.



3 comments:

  1. Coba kalau Dira dijelaskan ceritanya sendiri, pasti lebih seru!

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Saya setuju, soalnya Dira adalah karakter cewek yg menarik... Tapi nanti kalau Dira punya bagiannya sendiri, ini bakal jadi 5 Musim Cinta, bukan 4 musim lagi, hihi

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets