5 March 2017

[Resensi THE PIANIST] Mempertanyakan Keberuntungan Szpilman





Buku ini merupakan catatan hidup Szpilman, seorang Yahudi Polandia, semasa Perang Dunia II. Berdasarkan bagian penutup yang ditulis Wołf Biermann, buku ini ditulis “di tengah-tengah masih mengepulnya asap Perang Dunia II dan terbit pertama kali pada tahun 1946 di Polandia, tapi langsung ditarik dari peredaran (hlm. 336).

Begitu Perang Dunia II meletus, pasukan Jerman menyerang Polandia. Setelah tentara Polandia kalah di peperangan, tentara Jerman mulai melancarkan peperangan politik. Menurut tulisan Szpilman, serangan ini dimulai pada Desember 1939, ketika tentara Jerman mengeksekusi seratus penduduk Warsawa yang tak bersalah. Situasi makin gawat, di saat orang-orang mengungsi, Szpilman dan keluarganya memutuskan untuk tetap tinggal di dalam kota. Kemudian tentara Jerman itu mulai menjarahi rumah-rumah orang Yahudi. Szpilman sekeluarga mulai menjual barang-barang mereka satu per satu untuk bertahan hidup. Kemudian, tentara Jerman membangun ghetto, suatu kawasan khusus orang Yahudi,  yang dipisahkan dengan tembok-tembok terhadap bagian lain kota yang dihuni para non-Yahudi.

Aku pikir secara psikologis kami akan lebih mudah menjalaninya apabila langsung dijebloskan ke dalam penjara—dikunci dalam sebuah sel, misalnya. Lain dari pengurungan di ghetto yang terasa tanggung, menjebloskan ke dalam penjara akan membentuk hubungan manusia dengan realitas secara lebih jelas dan tegas. (hlm. 93)

Menurut Szpilman, pengurangan di ghetto “terasa tanggung”, karena mereka masih bisa bergerak di jalan biasa, tapi setelah beberapa jauhnya, langkah mereka akan terhenti oleh tembok-tembok. Jadi, mereka dibuat merasa seolah-olah bebas padahal tidak. Di awal-awal masa pendudukan Jerman itu, Szpilman masih bekerja di Radio Polandia, memainkan musik dengan pianonya. Namun, lama-lama radio itu berhenti siaran, dan Szpilman tidak bekerja lagi.

Awalnya, makanan dan barang kebutuhan lain masih bisa diangkut ke dalam ghetto. Lama-lama, datangnya bahan makanan semakin jarang dan para orang Yahudi di dalam ghetto harus bertahan hidup entah bagaimana caranya. Szpilman beberapa kali menggambarkan betapa mirisnya kehidupan di dalam ghetto yang nyaris tanpa persediaan makanan. Pernah, saat berjalan-jalan, Szpilman menyaksikan seseorang yang kelaparan hendak merebut semangkuk sup dari tangan seorang perempuan, tapi nahasnya dalam usaha itu, mangkuk terjatuh dan isinya tumpah ke jalanan. Seorang yang hendak merebut sup tadi langsung meraup sup itu dan memakannya.

Orang-orang di dalam ghetto nyaris selalu melewati hari dengan rasa takut dan cemas, terlebih setelah tentara Jerman memulai perburuan terhadap orang Yahudi. Secara acak, mereka memilih orang Yahudi, untuk kemudian dibawa. Entah ke kamp konsentrasi, entah ditembak mati, entah diapakan. Isu-isu terus beredar, entah benar entah tidak, seputar perburuan terhadap orang Yahudi itu. “Besok lima ribu orang akan diangkut ke kamp konsentrasi,” semacam itu. Tak jarang, Szpilman membuktikan bahwa isu semacam itu tidak benar. Tapi tak ayal, ia ikut gelisah.

Pada awal musim semi 1942, perburuan manusia di ghetto, yang dulunya dilakukan secara sistematis, mendadak berhenti. […] Jika mereka menghentikan perburuan tersebut, ini hanya disebabkan oleh mereka mempunyai cara lain yang lebih jitu untuk menganiaya kami. Pertanyaannya adalah apakah cara lain itu? Orang-orang menduga-duga tak keruan dan bukannya merasa lebih tenang, mereka malah dua kali lebih khawatir daripada sebelumnya. (hlm. 115)

Saat Keberuntungan Szpilman Diuji


Perasaan pertama yang terbetik di hati bukanlah kecewa karena aku gagal mati, tetapi senang karena aku masih hidup.  Bagaimanapun juga, semangat hidupku takkan ternilai harganya. (hlm. 255)

Szpilman mungkin orang Yahudi paling beruntung di Warsawa saat berlangsungnya Perang Dunia II. Keberuntungan besar pertama yang menimpanya harus dibayar dengan kehilangan seluruh keluarganya. Saat itu, Szpilman sekeluarga akhirnya terangkut ke Umschlagplatz. Lalu dari sana, mereka akan diangkut kereta menuju entah ke mana. Saat hendak naik ke gerbong, tiba-tiba ada yang menarik Szpilman sehingga ia terpisah dengan keluarganya, tidak jadi naik kereta itu, dan selamat. Pasalnya, gerbong yang diisi penuh sesak oleh manusia itu nantinya akan berisi gas yang akan membunuh seisinya.

Berkali-kali nyawanya berada di pucuk moncong senjata tentara Jerman, tapi berkali-kali pula ia selamat. Hingga ia jadi satu-satunya orang Yahudi yang masih ada di Warsawa, tinggal di puing-puing yang tersisa dan bertahan hidup dengan apa yang ada. Pernah, ia hanya bisa berbaring karena kelaparan. Beruntung, beberapa temannya bersedia membantu, dengan menyediakan tempat persembunyian dan makanan. Namun, saya pikir keberuntungan tak akan mendatanginya kalau ia tak pantang menyerah untuk terus bertahan hidup.

Lalu, ketika ia sedang mencari-cari makanan yang tersisa di sebuah flat kosong, seorang tentara Jerman menegurnya dari belakang. Setelah bertahun-tahun berhasil bertahan hidup, apakah kini Szpilman akan menemui ajalnya? Mungkin, setelah arak, kini permainan pianonya, entah bagaimana caranya, akan bisa menyelamatkannya.

Setelah Anda dan aku selamat dari neraka jahanam selama lebih dari lima tahun, jelaslah bahwa Tuhan memang menghendaki kita tetap hidup dan kita harus mempercayainya.” (Wilm Hosenfeld, hlm. 290)

Catatan Wilm Hosenfeld


Dusta adalah yang terburuk dan biang dari seluruh kejahatan. Kita semua pernah berdusta; rakyat selalu ditipu. (Wilm, hlm. 319)

Membaca catatan Wilm Hosenfeld, saya makin penasaran akan sosoknya. Dia adalah tentara Jerman yang tidak ikut turun ke medan perang (catatan mengenai dirinya diceritakan oleh Wołf Biermann di bagian penutup). Melalui catatan pribadinya (disertakan di buku ini), saya mengenal sosoknya sebagai tentara Jerman yang tidak setuju dengan Nazisme dan chauvinisme Jerman. Saya juga menduga bahwa ia sosok yang religius. Salah satu catatan Hosenfeld menyinggung tentang pencurian karya seni Polandia oleh Jerman. Hal ini mengingatkan saya akan pekerjaan Florian di novel Salt to the Sea karya Ruta Sepetys (yang belum berhasil saya tamatkan sampai sekarang karena plotnya sangaaaaat membosankaaaan).

Sungguh miris ketika Szpilman sempat lupa padanya. Namun setelah tahu identitas Hosenfeld, Szpilman telah berusaha membebaskannya, tapi tidak berhasil. Miris, ketika dia akhirnya meninggal di tahanan Rusia, setelah apa yang ia lakukan: menolong banyak orang di saat ia bisa memilih untuk tidak menolong mereka.

Kita gemar menyalahkan orang lain, alih-alih diri sendiri. Tuhan membiarkan kejahatan merajalela karena manusia mendukungnya… (Wilm, hlm. 328)

Sayang, Oh, Sayang

Ada beberapa bagian yang terjemahannya kurang pas, ada kalimat tidak efektif, dan inkonsistensi berkelanjutan penggunaan kata ganti “aku—saya” dan “kau—Anda” (sudut pandang Szpilman). (Mungkin kalau penerjemahannya langsung dari bahasa Polandia ke bahasa Indonesia akan lebih bagus.) Misalnya, sejak awal, memakai kata ganti “aku”, tapi di halaman 66 tiba-tiba berganti dengan “saya”. Kemudian, kalimat ini:

Secepat kilat, aku tahu takdir yang sedang menunggu orang-orang di dalam gerbong-gerbong itu. Rambutku berdiri. (hlm. 167)

Mungkin yang dimaksud dengan bagian yang saya tebalkan adalah “bulu kudukku berdiri”.

Saya tidak familiar dengan bahasa Polandia, jadi kurang bisa mengingat nama-nama (nama orang, nama jalan, nama tempat, dan sebagainya). Kadang saya harus membolak-balik halaman sebelumnya demi mengingat sebuah nama. Banyak konsonan berdempetan, bagaimana cara membacanya? Aaaarrrrrgggh!

Ada istilah-istilah yang saya tidak mengerti artinya, dan alangkah sedapnya jika ada catatan kaki yang menyuapi rasa penasaran saya. Sayangnya tidak ada. Szpilman sering menyebut “orang-orang SS” dan “Gestapo” (yang terakhir ini oleh Hosenfeld ditulis “G.Sta.Po”). Ada juga istilah “Lebensraum” , “Reich”. Setelah berselancar di internet, saya mendapatkan hasil sebagai berikut:

1. SS = singkatan dari “Schutzstaffel”, suatu organisasi Nazi yang berdiri pada tahun 1925. Awalnya sebagai pengawal pribadi Adolf Hitler. Kemudian organisasi ini berkembang menjadi salah satu yang paling kuat dan ditakuti di seluruh Jerman Nazi. Pada Perang Dunia II, tugas SS beragam, salah satunya menjalankan kamp konsentrasi. (Sumber: History) 

2. Gestapo = akronim dari “Geheime Staatspolizel"), adalah angkatan polisi rahasia Jerman. Tujuan utamanya adalah memburu siapa saja yang dianggap ancaman bagi Nazi. (Sumber: History Learning Site)

3. Lebensraum = tempat hidup bagi ras Jerman; hal yang mendasari ekspansi Nazi ke negara-negara di sekitarnya, untuk menguasai negara tersebut, menyingkirkan ras-ras minoritas, dan menjadikannya tempat hidup bagi ras Jerman yang berkembang jumlahnya. (Sumber: Holocaust Trc)

4. Reich = kerajaan/kekaisaran (merujuk pada Jerman). (Sumber: Wikipedia)

Saya pikir, ini adalah salah satu buku tentang Perang Dunia II yang penting, karena merupakan rekaman tragedi kemanusiaan yang terjadi di Polandia dari sudut pandang orang Yahudi yang mengalaminya langsung (dan ajaibnya—selamat). Saya berharap agar Bentang Pustaka menerbitkannya ulang, dengan perbaikan terjemahan dan editing, serta sampul baru yang lebih menarik.
Hari-hari yang sulit ini menjadi saksi atas sebuah paradoks yang terjadi pada masa pendudukan tersebut: ban lengan bergambar Bintang David, yang dulu menjadi simbol paling menakutkan, malam ini justru menjadi tanda pelindung, sebuah jaminan keselamatan, setelah orang-orang Yahudi tidak lagi diburu. (hlm. 203)

Rating Saya


Identitas Buku

Judul: The Pianist (terjemahan dari The Pianist terbitan Picador, NY, 2003)
Penulis: Władysław Szpilman
Penerjemah: Agung Prihantoro
Penerbit: C Publishing (Bentang Pustaka)
Cetakan: I, Maret 2005
Tebal: 354 halaman
ISBN: 979-3062-46-0

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets