2 April 2017

[WATCHING SUNDAY #1] A Monster Calls - Movie Review

Background and elements designed by Shabby Princess.
Setiap hari Minggu (entah minggu keberapa, saya tidak berani janji akan mempublikasikannya tiap hari Minggu, karena saya orang yang sulit berkomitmen), mulai hari Minggu ini, saya akan mempublikasikan resensi film atau film seri yang diadaptasi dari buku. Ide "Watching Sunday" ini sebenarnya sudah muncul dan spanduknya sudah saya bikin sejak tahun 2016, tapi yah, begitulah saya. Suka menunda-nunda 😫. Sebelum muncul label "Watching Sunday" ini, saya sudah pernah menulis beberapa resensi film yang diadaptasi dari buku, baik saya sudah membaca bukunya, maupun belum.

Baca juga resensi film Divergent

Nah, sebagai tulisan perdana di bawah label "Watching Sunday", saya akan meresensi film A Monster Calls. Sudah nontonkah? Kalau bukunya, sudah baca, kan? 😁

A Monster Calls adalah salah satu buku terbaik yang saya baca tahun kemarin. Saya selalu takjub bagaimana suatu kisah sederhana (bahkan sastra anak) mampu menyentuh hati dan membuat saya bertanya pada diri sendiri tentang esensi kehidupan.

Selama ini, film adaptasi dari buku yang saya tonton setelah membaca bukunya hampir selalu tidak sebagus bukunya. Nah, bagaimana kalau film adaptasi A Monster Calls ini?

Baca juga resensi novel A Monster Calls

Sinopsis

Conor O'Malley sering bermimpi buruk. Di mimpinya itu, ia selalu tak bisa menyelamatkan ibunya yang akhirnya jatuh ke jurang. Suatu malam, pukul 00.07, seorang monster mendatanginya. Monster itu jelmaan pohon yew yang ada di halaman gereja, di belakang rumah Conor. Awalnya Conor mengira itu hanya mimpi. Tapi bukti-bukti membuat monster itu memang terlihat nyata. Alih-alih menyembuhkan ibunya yang menderita kanker, sang monster datang untuk menyembuhkan Conor. Lewat tiga kisah yang ia ceritakan, ia mengajarkan sesuatu. Pada akhirnya, sang monster menuntut sesuatu dari Conor: kisah keempat; kisah tentang kebenaran Conor sendiri.

Karakter

Conor O'Malley - Lewis MacDougall

Hasil skrinsyut pribadi.
Pengejawantahan tokoh Conor dari buku ke film berhasil mengakomodasi imajinasi saya. Lewat aktingnya, saya bisa merasakan emosinya yang berapi-api, yang kadang terpendam dalam ekspresi wajah "biasa saja".

Sang Monster - Liam Neeson

Hasil skrinsyut pribadi.
Hasil skrinsyut pribadi.
Wujud sang monster tervisualisasikan dengan baik. Sosoknya yang menyerupai batang, akar, dahan pohon yew yang berwarna gelap, serta mata dan mulutnya yang membara terkesan menakutkan.

Elizabeth "Lizzie" Clayton (ibu Conor) - Felicity Jones

Hasil skrinsyut pribadi.

Akting Felicity Jones cukup berhasil memerankan Lizzie yang menderita kanker. Terlebih di saat-saat terakhir, didukung oleh make up, ia benar-benar terlihat "sekarat". Namun, pada adegan saat ia kumat di rumah, lalu sang nenek dengan panik meminumkan obat, aktingnya, kok, terlihat terlalu dibuat-buat. "Kumat"-nya nggak alami, gitu. (Lha, memang akting, ya nggak alami, dong, Cung.)

Nenek - Sigourney Weaver

Hasil skrinsyut pribadi.
Sang Nenek terlihat, errrr, muda. Mungkin karena efek make up. Mungkin memang wajar nenek Conor umurnya segitu, tapi entah kenapa, di mata saya dia terlihat terlalu muda.

Ayah - Toby Kebbell


Hasil skrinsyut pribadi.
Saya senang karena adegan Conor dengan sang Ayah diperbanyak. Di buku, Conor membersihkan sendiri kekacauan yang dibuatnya di rumah sang Nenek. Di film, Conor membereskannya bersama sang Ayah.

Harry - James Melville

Hasil skrinsyut pribadi.
Hmm, ganteng 😂. Baik di buku maupun di film, saya masih belum bisa memahami tokoh Harry. Apa motif sebenarnya dia mengusik Conor? Atau memang tidak ada motif? Suatu saat, ia memukuli Conor, di saat lainnya dia terkesan berada di pihak Conor.

Ke Mana Lily? 

Lily tidak mendapat jatah adegan di film ini, padahal kalau di buku, ada beberapa adegan yang melibatkan interaksi langsung antara Lily dan Conor.

Efek Visual Keren:
Animasi 3-D yang Dibikin Kayak 2-D

Hasil skrinsyut pribadi.
Kisah-kisah yang diceritakan sang monster ditampilkan lewat animasi yang bentuk-bentuknya agak abstrak dan bernuansa suram, yang masih memiliki ruh yang sama dengan ilustrasi karya Jim Kay di buku.

Hasil skrinsyut pribadi.
Bagian animasi yang ini disutradari oleh Adrian Garcia dan dibikin oleh Glassworks Barcelona. Animasi 3-D itu sengaja dibikin biar terlihat seperti gambar bikinan Conor, 2-D. Di film ini, Conor sering menggambar, salah satunya menggambarkan sang Monster dan ketiga kisah yang ia ceritakan. Kalau di buku, kayaknya tidak disebutkan bahwa Conor menggambar. Mohon koreksi saya kalau salah, soalnya sudah agak lupa. Kalau ingin tahu lebih lanjut tentang pembuatan animasinya, bisa intip wawancara dengan kepala bagian 3-D Glassworks berikut.

Adegan Penting yang Mengecewakan

Salah satu adegan terpenting, yaitu saat Conor mengamuk dan menghancurkan ruang "museum" sang nenek, jadi kurang memukau di film ini. Pasalnya, imajinasi saya berdasarkan kata-kata dan ilustrasi di buku, telanjur membayangkan seisi ruangan itu porak-poranda, penampilan Conor pun jadi berantakan setelah mengamuk-tangannya tergores dan berdarah. Tapi, di film ini, kehancuran ruangan itu terlihat dibikin-bikin. Pun kurang hancur. Sehabis mengamuk, ajaibnya, Conor terlihat tidak terlalu berantakan. Tangannya masih mulus.

Kapan Saya Mewek

Setelah melewati adegan Conor mengamuk di rumah neneknya, saya jadi pesimis bakal bisa nangis nonton ini. Eh, ternyata, saya mulai mewek juga di bagian akhir, saat Lizzie akhirnya melakukan pembicaraan itu dengan Conor di rumah sakit. Sampai akhir, saya masih mewek (dikit-dikit).

Adegan "Bonus"

Kisah di buku berakhir setelah adegan Conor memeluk ibunya di rumah sakit. Saya kira, film akan berakhir juga setelah adegan itu. Eh, ternyata ada epilog. Adegan spesial yang nggak ada di buku. Mungkin adegan ini dibikin biar para penonton yang belum baca bukunya nggak kecewa. Misalnya, mungkin akan ada yang berkomentar, "Jadi, ending-nya gitu doang? Terus, ibunya akhirnya meninggal atau gimana?".
Nah, setelah dikasih epilog, semoga penonton tersebut terpuaskan. Epilog tersebut juga berhasil memberi gambaran pada saya, mengapa di buku, ibu Conor beberapa kali menatap pohon yew sambil berujar, "Itu pohon yew, tahu." Terima kasih, Patrick Ness, saya juga puas.

RATING SAYA
8/10

Sutradara: Juan Antonio Bayona

Penulis naskah: Patrick Ness
Durasi: 108 menit
Rating: PG-13

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets